A.
Behavioristik
1.
Behaviorisme
Watson
Premis dasar behaviorisme
watson (1913) adalah bahwa kesimpulan tentang perkembangan manusia harus
didasarkan pada pengamatan perilaku terbuka daripada spekulasi tentang motif
tak sadar atau proses kognitif yang tidak teramati.
Watson yakin bahwa
asosiasi well learned antara stimuli
eksternal dan respon yang observable (disebut kebiasaan) penghalang
perkembangan manusia. Seperti John Locke, Watson memandang bayi seperti tabula rasa yang dibentuk oleh
lingkungan. Anak-anak tidak memiliki kecenderungan pembawaan sejak lahir,
Watson merupakan pencetus Social learning yang meyakini bahwa bagaimanapun
anak-anak akan mempercayai seluruhnya pada lingkungan yang membesarkan mereka
dan cara yang orang tua mereka dan orang-orang berpengaruh lainnya dalam
kehidupan mereka memperlakukan mereka. Berdasarkan perspektif behavior, adalah
sebuah kesalahan untuk mengasumsikan bahwa perkembangan anak-anak melalui
tahap-tahap yang nyata, ditandai dengan kematangan biologis, seperti Freud (dan
lainnya) telah berpendapat. Malah, perkembangan dipandang sebagai sebuah proses
berkelanjutan pada pengubahan tingkah laku yang dibentuk oleh lingkungan
manusia yang unik dan mungkin berbeda secara dramatis dari masing-masing orang.
Untuk membuktikan
bagaimana anak-anak dapat diubah, Watson membuat ilustrasi bahwa ketakutan
anak-anak dan reaksi emosional lainnya adalah didapatkan bukan bawaan sejak
lahir. Dalam salah satu demonstrasi, contohnya, Watson dan Rosalie Raynor
(1920) memberikan tikus putih pada anak berusia 9 bulan yang bernama Albert.
Pada awalnya Albert suka bermain dengan tikus putih sebagaimana hewan piaraan
lainnya. Dua bulan kemudian, dilakukan percobaan untuk menanamkan respon
ketakutan. Setiap saat Albert memegang tikus putih, Watson mendekatinya untuk
membuat suara gaduh dari baja dengan palu. Dan akhirnya Albert mengasosiasikan
tikus putih dengan suara gaduh dan menjadi ketakutan. Berdasarkan ilustrasi
tersebut, ketakutan sangat mudah untuk dipelajari.
Watson percaya
bahwa anak-anak dibentuk oleh lingkungan social mereka yang membawa pesan buruk
bagi orang tua – yaitu mereka yang sebagian besar bertanggung jawab untuk apa
anak mereka akan menjadi. Watson memperingatkan para orang tua bahwa mereka
harus mulai mendidik anak-anak mereka mulai lahir dan tidak memanjakan jika
mereka berharap untuk membentuk kebiasaan baik. Ajari mereka, kata Watson.
Sejak saat itu,
beberapa teori yang telah ditujukan untuk menjelaskan bagaimana kita belajar
dari lingkungan social kita dan bentuk perilaku yang Watson pandang
sebagai “batu dalam bangunan besar
perkembangan manusia”. Mungkin salah satu ahli teori yang lebih baik dari yang
lainnya dalam mengembangkan pendekatan behavioris adalah B.F. Skinner.
2.
Teori
Operant Learning Skinner (Radical
Behaviorism)
Selama
penelitiannya dengan hewan, Skinner
mencoba untuk memahami bentuk belajar yang sangat penting yang dia
percayai menjadi dasar untuk bentuk organism yang paling penting. Skinner
menjelaskan bahwa manusia dan hewan akan mengulang aktivitas yang menyenangkan
dan akan menekan hal-hal yang tidak menyenangkan. Jadi, seekor tikus yang
menekan batang dan menerima makanan lezat adalah condong untuk memperlihatkan
respon itu lagi. Dalam teori Skinner, dengan bebas menghilangkan batang –
respon menekan disebut sebagai Operant, dan makanan yang memperkuat
responnya disebut reinforcer. Dengan cara yang sama, seorang perempuan mungkin
membentuk kebiasaan menunjukkan perasaan kasihan jangka panjang terhadap teman
yang menderita jika orang tua secara konsisten mereinforce tingkah laku baiknya
dengan hadiah, atau remaja lelaki yang seharusnya menjadi lebih rajin belajar dalam
tingkat yang lebih tinggi. Punishers, adalah konsekuensi yang
menahan respond dan mengurangi kemungkinan bahwa itu akan terjadi di masa yang
akan datang. Jika tikus telah direinforse untuk menekan batang yang tiba-tiba
memberikan rasa sakit setiap kali ia menekan batang, kebiasaan “menekan batang”
akan menjadi hilang. Seperti remaja perempuan yang dimarahi setiap kali dia
pulang melebihi jam malam akan lebih suka pulang tepat waktu.
Skinner
meyakini bahwa perilaku setiap manusia memperkuat hasil dari pengalaman operant-learning keunikan kita. Tingkah
laku agresif seorang lelaki mungkin tereinforse karena temannya memberi penguatan
ancaman. Lelaki lain mungkin menjadi relative tidak aggressive karena temannya
secara aktif menekan sikap agresif tersebut. Dua orang ini mungkin menjadi arah
yang sama sekali berbeda berdasarkan perbedaan sejarah reinforce dan punishment
mereka. Menurut Skinner tidak perlu membicarakan “tahap agresif” dalam
perkembangan anak atau “insting negative” dalam menjadi manusia. Dia menyatakan
bahwa sebagian besar perilaku yang anak-anak peroleh - respon yang terdiri dari “kepribadian” and
membuat kita unik – adalah secara bebas memancarkan operant yang telah dibentuk
oleh konsekuensi mereka. Jadi, teori operant learning Skinner mengklaim bahwa
arah yang kita bangun sangat tergantung pada stimuli eksternal (reinforce dan
punisher) daripada kekuatan internal seperti insting, dorongan, atau kedewasaan
biologis.
Para
pengembang telah menilai bahwa perilaku manusia bisa mengambil banyak bentuk
dan kebiasaan tersebut bisa muncul dan hilang, tergantung pada apakah mereka
punya konsekuensi positif dan negative. Operant
Conditioning adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari
perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi
(Santrock, 2007). Operant
Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :
a. Reinforcement (penguat atau imbalan)
Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan
probabilitas suatu perilaku terjadi lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996).
Ada dua bentuk reinforcement :
-
Reinforcement
positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana
frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang
menyenangkan,
-
Reinforcement
negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku
akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak
menyenangkan.
Reinforcement, baik
positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (McCown,
dkk., 1996) :
-
Primary
reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis yang
sifatnya tanpa perlu dipelajari,
-
Secondary
reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang sifatnya harus
dipelajari,
-
Pairing,
yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan secondary
reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang diberikan
kepada individu.
b. Punishment (hukuman)
Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan
menurunkan terjadinya perilaku (McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan
suatu perubahan yang sifatnya segera. Perubahan ini memerlukan suatu tindakan
yang terkadang membuat individu merasa terancam secara fisik dan psikis. Hukuman
adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus baru, yang bagi individu
dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik
dan psikis. Beberapa format hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang
bermasalah adalah:
-
Secara
Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan
perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional,
-
Secara
Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.
Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut,
reinforcement dianggap memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk
perilaku yang diinginkan. Namun, reinforcement sebaiknya diberikan berdasarkan
suatu aturan tertentu. Berikut beberapa macam pemberian reinforcement
(Leffrancois, 2000):
a. Continuous Reinforcement,
yaitu reinforcement yang diberikan pada setiap
respon yang benar.
b. Intermitten atau Partial Reinforcement,
yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada
setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut 2 kategori :
-
Pemberian
penguatan berdasarkan jumlah respon (ratio schedule)
-
Pemberian
penguatan berdasarkan selang waktu (interval schedule).
Waktu pemberian
reinforcement dengan ratio atau interval schedule ini masih dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu fixed schedule dan random/variable schedule.
3. Prinsip-Prinsip dalam Pendekatan Behavior
Adapun beberapa prinsip dalam pendekatan behavior, yakni sebagai berikut:
a. Memodifikasi
tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk
merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup
kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui
tingkah laku klien.
b. Mengurangi frekuensi berlangsungnya
tingkah laku yang tidak diinginkan
c. Memberikan penguatan terhadap suatu
respon yang akan mengakibatkan terham-batnya kemunculan tingkah laku yang tidak
diinginkan
d. Mengkondisikan pengubahan tingkah
laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh
nyata langsung)
e. Merencanakan prosedur pemberian
penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak.
4.
Tingkah Laku Bermasalah
Menurut
Latipun (2008: 135) menyatakan bahwa perilaku yang bermasalah dalam pandangan
behavioris dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative
atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Sedangkan
menurut Feist & Feist (2008: 398) menyatakan bahwa perilaku yang tidak
tepat meliputi:
a. Perilaku terlalu bersemangat yang
tidak sesuai denga situasi yang dihadapi, tetapi mungkin cocok jika dilihat
berdasarkan sejarah masa lalunya.
b. Perilaku yang terlalu kaku,
digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak diinginkan terkait dengan
hukuman,
c. Perilaku yang memblokir realitas,
yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak diinginkan.
d. Pengetahuan akan kelemahan diri yang
termanifestasikan dalam respon-respon-respon menipu diri.
B.
Teori
Belajar Sosial
Albert Bandura
yang memperkenalkan teori kognitif-behavioral, merupakan professor psikologi
dari Universitas Stanford California. Ia sepakat pada pandangan Skinner bahwa operant conditioning adalah tipe
pembelajaran yang efektif, khususnya pada hewan. Namun, Bandura menekankan
bahwa manusia adalah mahluk kognitif (yang aktif memproses informasi) tidak
seperti hewan, manusia sering berpikir mengenai hubungan antara perilaku mereka
dan consequences, dan lebih sering
berperilaku berdasarkan berdasarkan “believe”
tentang hal yang akan terjadi dibandingkan dengan pengalaman. Contohnya,
ketika seseorang menempuh suatu studi (pendidikan). Kita menyadari bahwa
pendidikan kita itu mahal dan menghabiskan waktu serta terkadang kita merasakan
banyak tuntutan dibandingkan kepuasan didalam menjalani pendidikan tersebut.
Namun, kita bisa mentolerir hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut karena
kita mungkin mempertimbangkan reward yang
besar yang akan kita terima ketika berhasil menempuh pendidikan tersebut.
Perilaku tersebut tidak dipengaruhi karena adanya consequence yang sifatnya segera diperoleh, jika demikian banyak
siswa yang tidak akan bersusah payah untuk menenpuh ujian dan tes masuk
universitas. Akan tetapi, kita tetap menjalani peran sebagai siswa karena kita
memikirkan keuntungan jangka panjang dari pendidikan dan memutuskan bahwa
ujian-ujian ini adalah cost yang harus kita bayarkan dari keuntungan jangka panjang tesebut.
1.
Konsep
Dasar
Richard
Nelson-Jones (1982) menjelaskan ada tiga konsep dasar dari teori belajar social
dari Bandura yakni sebagai berikut:
a.
Reciprocal
determinism
Dalam pandangan
Skinneran, memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Namun,
Bandura memandang konsep ini terlalu sederhana dan tidak bisa menjelaskan kasus
yang sedang ditelitinya, sehingga dia menambahkan rumusan baru. Menurutnya,
lingkungan memang membentuk perilaku, namun perilaku juga membentuk lingkungan.
Konsep ini disebut dengan reciprocal
determinism, yaitu dunia dan perilaku seseorang itu saling memperngaruhi
(Boeree, C. George, 1997).
Tiga paradigm
untuk mengkonseptualisasikan perilaku manusia yakni lingkungan (environmental), personal, dan reciprocal determinism. Didalam paradigm
environmental determinism, yang
dipaparkan oleh Skinnerian, behavior (B) adalah consequence (F) dari lingkungan (E), yang bisa dirumuskan
[B=F(E)]. Paradigma teori belajar social
memandang bahwa perilaku manusia (B) adalah bentuk dari hubungan timbal balik
secara terus menerus antara kognitif behavioral/Person (P) dan lingkungan (E),
atau bisa digambarkan sebagai berikut:
b.
Mediating
cognitive processes
Richard
Nelson-Jones mendefinisikan kognitif sebagai “cognitive event are, among other, imagery, representation of experience
in symbolic form and thought processec” . Sedangkan Boeree menganggap
kognitif sebagai proses psikologis yang berisi kemampuan kita untuk
menyenangkan berbagai citra (images)
dalam pikiran dan bahasa kita. Pada awal klasikal maupun operant conditioning dapat digambarkan dengan model S à
R atau Stimulus à Respon, sedangkan konsep Bandura
adalah S à O à
R atau Stimulus à Organism’s mediating cognitive
processes à Respon. Pola ini menggambarkan bahwa
respon diberikan timbul tidak semata-mata karena ada stimulus namun melalui
proses kognitif. Oleh karena itu, aliran Bandura tidak lagi dikatakan sebagai
behavior murni, dan mulai beralih menjadi kognitivis.
c.
Human
nature
Manusia tidaklah terlahir berbagai perilaku
(sehari-hari) kecuali untuk reflex dasar, oleh karena itu haruslah dipelajari.
Factor biologis, bagaimanapun mempengaruhi keterbatasan proses belajar.
Contohnya gen dan hormone mempengaruhi perkembangan fisik yang pada akhirnya
mempengaruhi behavioural potentialities.
2.
Pembelajaran
Observasional (Modeling)
Teori Bandura
mengenai pembelajaran observasional mengasumsikan bahwa seorang observer dapat
membangun gambar atau representasi symbol dari perilaku model dan kemudian
menggunakan mediator ini untuk mengasilkan apa yang ia saksikan. Teori
observasional atau modeling ini biasa juga disebut teori pembelajaran social.
Di dalam proses
pembelajaran social (modeling) terdapat empat komponen:
a. Proses
atensi. Jika seseorang belajar melalui modeling hal yang penting bahwa mereka
memberi perhatian untuk secara akurat memperoleh perilaku yang dimodeling
(dicontohkan).
b. Proses
retensi (ingatan). Untuk modeling yang efektif harus mampu mempertahankan
ingatan/mengingat apa yang diperhatikan.
c. Reproduksi.
Ditahap ini, seseorang harus menerjemahkan citraan atau deskripsi tadi ke dalam
perilaku actual. Variabel yang mempengaruhi di dalam proses reproduksi perilaku
adalah kemampuan atau kapasitas observer secara phisycal.
d. Motivasi.
Seseorang tidak akan melakukan apapun yang mereka lihat jika tidak ada dorongan
atau motivasi didalam diri untuk meniru. Seorang observer kemungikan besar akan
mengadopsi perilaku model jika (a) memperoleh reward eksternal, (b) adanya
nilai positif dari dalam, dan (c) telah diamati bahwa sang model mendapatkan
reward.
3.
Regulasi
Diri
Regulasi diri
adalah kemampuan mengontrol perilaku sendiri. Kemampuan regulasi diri ini
adalah salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. bandura
menawarkan tiga tahap yang terjadi dalam proses regulasi diri ini.
a. Pengamatan
diri. Kita melihat diri dan perilaku kita sendiri, serta terus mengawasinya.
b. Penilaian.
Kita membandingkan apa yang kita lihat pada diri dan perilaku kita dengan
standar ukuran. Misalnya, kita bisa membandingkan perilaku kita dengan
standar-satandar tradisional seperti “tata-krama”, atau kita bisa membuat
standar sendiri.
c. Respon
diri. Jika kita telah membandingkan diri dan perilaku kita dengan standar
ukuran tertentu, kita dapat memberi imbalan respon-diri pada diri sendiriJika
kita telah membandingkan diri dan perilaku kita dengan standar ukuran tertentu,
kita dapat memberi imbalan respon-diri pada diri sendiri juga dengan respon
diri. Bentuk respon diri ini bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat jelas
(misalnya bekerja keras atau belajar sampai larut malam) sampai pada bentuk
implisit (seperti perasaan bangga atau malu).
SUMBER BACAAN
Boeree,
C. George. 1997. Personality Theory. Terjemahan
Inyiak Ridwan Muzir. 2007. Jogjakarta: Prismasophie.
Feist, Jess & Gregory J. Feist.
2008. Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Hipiteuw, Imanuel. 2009. Belajar & Pembelajaran. Malang: FIP
UM
Latipun. 2008. Psikologi
Konseling. Malang: UMM Press.
Nelson
Jones, Richard. 1982. The Theory and
Practice of Counseling Psychology. Great Britain: The Pritman Press.
Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta: Erlangga.
Shaffer,
David R. 2005. Social and Personality
Development. 5th Edition. United States of America.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar