Vivi Gusrini R.
Pohan
Program Studi
Psikologi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kehidupan
masa remaja senantiasa menarik untuk dibicarakan dikarenakan kompleksnya
permasalahan -permasalahan yang ada di dalamnya. Ibarat sebuah rumah, jika
kehidupan masa anak adalah pondasi yang menentukan masa depan selanjutnya, maka
pada masa remaja individu bagai rumah yang sudah terbentuk dan pada masa
dewasa, rumah tidak lagi mengalami perubahan yang mendasar. Masa transisi
antara masa anak dan masa dewasa ini seringkali menimbulkan kegelisahan. Tak
heran kalau G. Stanley Hall dalam Mappiare (1982) , seorang yang disebut
sebagai Bapak Psikologi Remaja ilmiah menyebut masa ini sebagai " storm
dan stress". Masa peralihan ini banyak menimbulkan
kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan karena remaja bukan kanak-kanak lagi
tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa,
sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja belum waktunya untuk diperlakukan
sebagai orang dewasa.
Masa
remaja ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi
fisik, psikis, dan sosialnya. Berkaitan dengan hubungan sosial pada remaja,
hampir seluruh waktu yang digunakan remaja adalah berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya, baik dengan orangtua, saudara, guru, teman, dan
sebagainya. Remaja cenderung bergabung dan berinteraksi dengan kelompok
sosialnya untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosialnya. Kondisi
tersebut sejalan dengan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh
remaja yaitu memperluas hubungan interpersonal dan berkomunikasi secara lebih
dewasa dengan kawan sebaya baik pria maupun wanita. Adanya interaksi tersebut
menyebabkan remaja juga mengalami beberapa persoalan dalam hubungannya dengan
orang lain. Di dalam laporan penelitian Afiatin (1996) disebutkan bahwa hampir
semua responden , yang terdiri dari para remaja, memiliki masalah yang
berkaitan dengan prestasi, khususnya prestasi akademik. Selanjutnya mereka juga
mengemukakan bahwa hal ini sebetulnya merupakan akibat dari hal-hal lain, artinya
permasalahan yang berkaitan dengan masalah prestasi akademis disebabkan oleh
hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikis (adanya kurang percaya diri, sulit
konsentrasi) dan masalah-masalah sosial (kesulitan bergaul dengan teman, guru,
konflik dengan orangtua). Tidak sedikit yang kita temui, remaja yang memiliki
konflik dengan teman sebayanya yang akhirnya tidak hanya mengakibatkan
keributan antar keduanya namun merembet sampai pada tawuran antar kelompok.
Sebagai contoh suatu kasus dimana gara-gara dipelototi dua pelajar Sekolah
Menengah
1
e-USU Repository ©2005
Universitas Sumatera Utara
Seni Rupa (SMSR) berkelahi yang berbuntut
pengeroyokan sehingga salah seorang tertusuk (Radar Yogya, 30 Januari 2001).
Kemudian dilaporkan adanya tawuran antar pelajar di Semarang yang menyebabkan
empat orang luka-luka (Radar Yogya, 17 Februari 2001). Pada surat kabar yang
sama dua hari sebelumnya juga dilaporkan adanya tawuran pelajar antar SMK yang
dimulai dengan adanya konflik pada pertandingan sepakbola (Radar Yogya, 15
Februari 2001). Menurut Suhartono, anggota komisi E Dewan Kota dari Fraksi
Partai Golkar bahwa frekuensi perkelahian antar pelajar di Yogya akan meningkat
seiring situasi negara yang kini sedang tidak menentu yang diindikasikan dari
seringnya terjadi perkelahian pelajar antar sekolah (Radar Yogya, 30 januari
2001). Tampaklah bahwa konflik yang dialami para remaja sudah menghawatirkan
yang sebenarnya dapat dicegah jika sejak awal ketika konflik interpersonal
muncul dapat diatasi dengan baik. Begitu juga remaja yang memiliki konflik
dengan orangtuanya memilih untuk meninggalkan rumah karena merasa tidak puas
dan tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut, akibatnya jumlah anak jalanan
kian meningkat.
Dari hasil penelitian Faturochman dkk.
(1995) disebutkan beberapa peristiwa seperti perkelahian, bahkan penganiayaan
berat antar siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran berlangsung pun
akhir-akhir ini semakin sering. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu penyebab
utama dari perilaku negatif antisosial itu adalah kemampuan siswa yang terbatas
dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Mereka melakukan itu karena tidak tahu
cara pengatasan konflik tersebut. Dan masih banyak lagi contoh-contoh konflik
yang dialami remaja dengan orang lain di sekitarnya yang mengakibatkan kerugian
tidak hanya pada remaja itu sendiri, juga pada keluarga, bahkan secara makro
berakibat pada negara yang berharap besar pada perjuangan generasi mudanya,
remaja saat ini. Disimpulkan dari pendapat beberapa ahli Psikologi dalam Shantz
dan Hartup (1992) bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai
konflik. Terdapat berbagai alasan antara lain, pengaruh gelombang hormon pada
masa remaja, remaja mulai mengantisipasi tuntutan peran masa dewasa,
perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai memahami ketidakkonsistenan
dan ketidaksempurnaan orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang
terjadi sebagai persoalan pribadi daripada memberikannya pada otoritas orang
tua. Remaja mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan
menuju kematangan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.
Permasalahan
sosial yang dihadapi remaja selanjutnya secara lebih khusus merupakan konflik
interpersonal karena secara spesifik menyangkut interaksi antara individu
(remaja) dengan orang lain, menuntut remaja meresponnya secara tepat, dalam hal
ini sesuai dengan harapan sosial, dan tidak menimbulkan efek negatif baik untuk
remaja itu sendiri dan orang lain. Hal tersebut tak lepas dari upaya
penyesuaiannya untuk dapat diterima sosial, khususnya kelompok teman sebaya.
Kemampuannya untuk dapat memecahkan atau menyelesaikan konflik interpersonal
yang dihadapinya menjadi penting. Konflik itu sendiri dapat berakibat positif
maupu negatif. Remaja yang memiliki kemampuan pemecahan konflik interpersonal
yang baik akan memberi efek yang baik pula pada hubungan sosialnya. Sementara
jika ia gagal melakukan pemecahan konflik interpersonal dengan baik,
bertentangan dengan harapan sosial, akibatnya timbul penolakan dari sosial karena ia dianggap
melakukan perilaku yang negatif dan tidak sewajarnya.
Di sisi lain hubungan sosial menjadi
sangat penting karena remaja merasa mengalami nasib yang sama dengan teman
sebayanya, yakni kegelisahan atas perkembangan pesat yang terjadi padanya dan
status yang tidak jelas antara anak dan dewasa, sehingga teman sebaya dianggap
yang paling memahami keadaan dirinya. Oleh sebab itu remaja berusaha
berinteraksi dengan sebayanya dan membentuk kelompok. Banyak cara yang
dilakukan oleh remaja agar bisa diterima di kelompoknya. Dapat menjadi anggota
atau memenuhi persyaratan untuk diterima di kelompok dapat membuat seorang
remaja populer. Sebaliknya remaja yang dianggap tidak memenuhi persyaratan akan
ditolak dan diabaikan. Menurut Suardiman (1995), masalah wajar yang berhubungan
dengan teman sebaya dan peranannya sebagai pria wanita pada remaja salah
satunya adalah mempunyai pikiran agar bisa diterima, populer, dan menunjukkan
kemampuan-kemampuannya dalam kelompok. Penerimaan kelompok terhadapnya dapat
membuat remaja merasa diakui, dihargai, dan selanjutnya mengembangkan
kepercayaan dirinya untuk berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya, sebaliknya juga remaja yang ditolak akan cenderung menarik diri dan
membatasinya melakukan penyesuaian diri dan sosial dalam lingkup yang lebih
luas. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Trisharulini (1996) yang
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara popularitas dan kepercayaan
diri. Selain itu pada usia remaja, terdapat rasa kebanggaan tersendiri apabila
remaja mempunyai banyak teman karena remaja tersebut merasa dirinya sangat
populer (Soekanto, 1985; seperti dikutip Roosianti, 1994). Oleh sebab itu
keinginan untuk diterima di suatu kelompok tidak pernah habis, popularitas
merupakan hal yang penting untuk diraih. Bahkan begitu pentingnya meraih
popularitas muncul berbagai fenomena di kalangan remaja. Terdapat remaja
-remaja yang sangat memperhatikan penampilannya, selalu ingin tampil menarik
dan mengundang perhatian orang lain dengan harapan ia akan dikenal dan
dikagumi. Perilaku lain yang muncul adalah remaja yang suka mentraktir teman
sebayanya dengan harapan ia disukai. Namun terdapat juga perilaku bertujuan yang
positif misal mengembangkan kemampuan diri dan meningkatkan prestasi sehingga
mendapat peghargaan dari orang lain khususnya teman sebaya, dan dikagumi. Semua
perilaku tersebut adalah dengan harapan ia bisa mendapat tempat, bisa
berinteraksi dan diterima di kelompok dan lingkungannya. Pentingnya bergabung
dengan teman sebaya pada remaja membuat seorang remaja dituntut untuk memiliki
kemampuan menjalin hubungan interpersonal yang memadai agar remaja dapat
berinterakasi dengan kelompok sebaya khususnya, dan juga dengan lingkungan
sosial yang lebih luas.
Berdasarkan uraian bahwa remaja memiliki
kebutuhan dan merasa bahagia jika meraih popularitas dan sekaligus remaja pada
masanya menghadapi berbagai konflik interpersonal di sekelilingnya, maka muncul
pertanyaan yang menjadi permasalahan yaitu apakah seorang remaja akan memiliki
kemampuan pemecahan konflik interpersonal yang baik jika ia populer di
kelompoknya atau sebaliknya.
B. Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah popularitas yang dimiliki seseorang (remaja) mempengaruhi
kemampuannya dalam memecahkan konflik interpersonal yang dihadapi.
C. Manfaat
Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi teoritis khususnya yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan konflik
interpersonal pada remaja ditinaju dari popularitas yang dimiliki. Manfaat
praktis yang diharapkan dari hasil penulisan ini khususnya bagi remaja agar
memiliki kemampuan pemecahan konflik interpersonal yang baik dengan
mengembangkan diri sehingga mencapai popularitas. Penulisan ini juga diharapkan
memberikan wawasan dan masukan bagi para orangtua dan pendidik bahwa memberikan
kesempatan dan dukungan bagi para remaja untuk mendapatkan popularitas yang
dianggap penting bagi remaja itu sendiri dan sekaligus sebagai salah satu upaya
meningkatkan ketrampilan sosialnya dalam hal ini kemampuan pemecahan konflik
interpersonal yang dihadapinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Masa remaja merupakan masa transisi dari
masa anak ke masa dewasa. Masa ini menurut Fuhrmann (1990) ditandai dengan
adanya perubahan pada individu, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun
sosial. Perubahan sosial tampak dari kedekatan remaja dengan teman sebayanya
dalam suatu kelompok. Kondisi tersebut sesuai dengan tugas-tugas perkembangan
dalam masa remaja diantaranya yaitu : menjalin hubungan-hubungan baru dengan
teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin, menginginkan
dan dapat berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat. Semakin meluasnya
hubungan sosial yang dilakukan oleh remaja, baik karena kebutuhan dan juga
tuntutannya, semakin banyak pula remaja berhadapan dengan pola-pola hubungan
interpersonal. Adanya perbedaan individual, baik dari perbedaan cara pandang,
cara berperilaku, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya mengakibatkan
munculnya konflik interpersonal. Pada kenyataannya, konflik interpersonal yang
dialami remaja bukan masalah baru bhakan merupakan fase perkembangan yang
dilaluinya. Namun pada kenyataannya pula, konflik- konflik interpersonal yang
terjadi semakin menghawatirkan. Seiring dengan hal itu, baik guru, orangtua,
masyarakat, dan negara melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan efek buruk
dari penyelesaian konflik yang negatif di kalangan remaja. Hingga saat ini
belum cara yang dianggap bisa mengatasi permaslahan ini secara memuaskan.
Tinjauan Psikologi Remaja dan Psikologi Sosial khususnya mengenai popularitas
remaja mencoba untuk memberikan nuansa baru dalam pemecahan masalah ini sehingga upaya yang dilakukan
semakin komprehensif dan diharapkan mencapai keberhasilan yang cukup
signifikan.
1. Konflik Interpersonal
Konflik merupakan hal umum yang terjadi
dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi dari individu yang satu dengan
individu yang lain yang masing masing memiliki perbedaan individual (individual
differences) menimbulkan berbagai macam pertentangan dan konflik.
Fincham & Bradbury (1991) dan Peterson
(1983) dalam Taylor, Peplau, dan Sears (1994) mengemukakan konflik adalah suatu
proses yang muncul ketika tindakan-tindakan dari seseorang terganggu dengan
tindakan-tindakan dari yang lainnya. Konflik dapat muncul pada pasangan menikah,
karyawan dan atasan, keluarga dan tetangga, teman dan teman sekamar.
Menurut Rostiana (1999), konflik merujuk
pada suatu situasi pertentangan antara kekuatan-kekuatan yang ada pada diri
individu sendiri, maupun antara individu dengan pihak lain dengan adanya pemicu
berupa stimulus tertentu. Konflik bermuatan emosi dan melingkupi seluruh
perilaku pada derajad yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain.
Dari berbagai pendapat ahli-ahli di atas
mengenai defenisi konflik, disimpulkan bahwa konflik merupakan proses yang
terjadi pada individu ketika muncul pertentangan baik berupa pengaruh dari
dalam diri individu sendiri maupun dari luar.
Rostiana (1999)
membagi konflik ke dalam dua wilayah yaitu :
a)
Wilayah konflik intrapersonal
Wilayah
konflik ini berada dalam diri individu. Dapat dikatakan bahwa dalam wilayah ini
individu menghadapi pertentangan dengan dirinya sendiri, yang muncul akibat
adanya berbagai alternatif pilihan dengan nilai yang berbeda-beda.
b)
Wilayah konflik interpersonal
Wilayah
konflik interpersonal melibatkan kehadiran orang lain. Konflik muncul sebagai
salah satu konsekuensi dari kehidupan sosial yang memerlukan interaksi dengan
orang lain. Dalam interaksi tersebut bisa terjadi perbedaan pendapat,
pertentangan tujuan, atau persaingan yang dapat memicu konflik interpersonal.
Jenis konflik ini lebih berssifat antar pribadi yang biasanya terkait dengan
sejumlah ketrampilan hubungan sosial yang dimiliki masing- masing orang.
Semakin kurang terampil seseorang dalam menjalin hubungan sosial (penyesuaian
diri buruk, komunikasi tidak lancar, kepekaan kurang memadai), maka konflik
interpersonal akan semakin mudah merasuk ke dalam pengalaman orang tersebut.
Konflik
interpersonal berarti suatu ketidaksetujuan antara individu-indivdu yang saling
berhubungan, sebagai contoh : teman dekat, pasangan kekasih, atau
anggota-anggota keluarga (Devito, 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa kata
"berhubungan" menekankan pada transaksi alami dari konflik
interpersonal, yakni suatu fakta bahwa posisi setiap individu mempengaruhi yang
lainnya. Konflik ini menjadi bagian dari setiap hubungan interpersonal, antara
orangtua dan anak, saudara lelaki dan perempuan, teman, kekasih, pekerja.
Myers
& Myers (1992) menyatakan bahwa konflik-konflik interpersonal bersumber
pada a) perbedaan individual pada setiap orang, misal usia, sikap, pengalaman,
keahlian, kecerdasan, pelatihan, dan lain-lain; b) keterbatasan sumber daya,
misal uang, waktu, perhatian, perasaan, benda-benda sumber daya materi lainnya
yang harus dibagi dalam suatu hubungan; c) keseimbangan peran, siapa yang
mengontrol, mendapat kehormatan, dan lain-lain.
Sadli
(1986) dalam Rostiana (1999) mengemukakan 3 macam, reaksi interpersonal yang
memudahkan terjadinya konflik, yaitu :
a.
Reaksi interpersonal
agresif, yang ditandai dengan sikap menentang, curiga, bermusuhan, dan
mempersepsikan lingkungan sebagai berbahaya
b.
Reaksi interpersonal compliant
dengan ciri-ciri : mengalah, kurang matang, menyerahkan keputusan pada orang
lain, dan selalu ingin menyenangkan orang lain.
c.
Reaksi interpersonal detachment
yang ditandai dengan ciri-ciri sikap : mengambil jarak, tidak mau terlibat
dengan orang lain, dan sedapat mungkin menghindari orang lain.
Apakah
konflik tersebut menyebabkan hambatan pada suatu hubungan bergantung dari
bagaimana pendekatannya. Jika konflik dikonfrontasikan dengan strategi-strategi
yang produktif, konflik akan dapat diselesaikan, dan suatu hubungan akan
menjadi lebih kuat dan sehat. Namun bagaimanapun, penggunaan strategi yang
destruktif dan tidak produktif akan membuat hubungan selanjutnya menjadi lebih
buruk. Hal ini sejalan dengan pendapat Myers & Myers (1992) yang menyatakan
bahwa konflik bisa bernilai karena mencegah stagnasi atau konformitas tanpa
pemikiran, dan hal itu bisa menstimulasi pengeksplorasian ide-ide dan
prosedur-prosedur baru, hubungan yang baru, penerimaan yang sehat, dan
penyesuaian dalam perubahan. Selanjutnya dikemukakan bahwa konflik dan berbagai
perbedaan yang ada bisa membuat masalah-masalah dibuka, didiskusikan, dan
dipecahkan.
Seperti
dikemukakan sebelumnya konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan
tergantung dari cara penyelesaiannya. Konflik dapat membantu seseorang untuk
memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsepsi
tentang dirinya dan pihak lainnya. Di lain pihak, konflik dapat dengan
pengambilan keputusan yang tidak membangun akan membuat suasana semakin panas, saling
mencela, dan keadaan ini tentu mengancam kelangsungan suatu hubungan (Sears,
Freedman, dan Peplau, 1985). Konflik bisa menyakitkan ketika konflik dihadapi
dengan
defensif,
keras kepala, dan menarik diri dari interaksi (Gottman & Krokof, 1989)
dalam Taylor, Peplau dan Sears (1994). Oleh sebab itu dipaparkan mengenai
strategi-strategi memanajemen konflik oleh Devito (1995) sebagai berikut :
a.
Penghindaran dan melawan secara aktif
Penghindaran berkaitan
dengan menghindar secara fisik yang nyata, misal meninggalkan ruangan. Daripada
menghindar dari pokok persoalan, berperan aktiflah pada konflik interpersonal
yang dihadapi. Jadilah pembicara dan pendengar yang aktif dan bertanggungjawab
terhadap setiap pemikiran dan perasaanmu.
b.
Memaksa dan berbicara
Kebanyakan orang tidak
menghadapi pada pokok persoalan melainkan memaksakan posisinya pada orang lain,
baik secara fisik maupun emosional. Alternatif yang nyata adalah berbicara dan
mendengar. Keterbukaan, empati, dan sikap positif merupakan awal yang tepat.
c.
Menyalahkan dan empati
Ketika kita menyalahkan
seseorang, ada niat tertentu pada orang tersebut. Bukan perilakunya yang
dipermasalahkan tapi menyalahkan orangnya. Hal ini tidak akan menyelesaikan
masalah. Cobalah berempati. Merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
berusaha melihat situsai seperti orang tersebut. Pahamilah mengapa orang lain
menilai situsai tersebut secara berbeda.
d.
Mendiamkan dan memfasilitasi ekspresi
secara terbuka
Mendiamkan di sini
merupakan teknik dalam menghadapi konflik dengan mendiamkan orang lain,
terkadang sambil menangis. Cara ini tidak akan menjelaskan dan menyelesaikan
konflik. Pastikan bahwa setiap orang diijinkan untuk mengekspresikan dirinya
secara bebas dan terbuka, tanpa ada yang merasa lebih rendah ataupun lebih
tinggi.
e.
Gunnysucking dan fokus pada
masa sekarang
Gunnysucking merupakan
istilah yang berarti menyimpan keluhan-keluhan yang ada sehingga bisa
muncul pada saat lainnya. Jika hal ini dilakukan, masalah tidak dapat
dituntaskan, akan muncul dendam dan perasaan bermusuhan. Fokuskan konflik di
sini dan sekarang dan fokuskan konflik pada orang yang dimaksud, bukan pada
ibunya atau temannya.
f.
Manipulasi dan spontan
Manipulasi
berarti individu menghindari konflik terbuka dan berusaha menyembunyikan
konflik dengan tetap berperilaku menyenangkan. Sebaliknya, ekspresikan perasaan
secara spontan. Konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang dan yang
kalah, namun pemahaman dari kedua belah pihak.
g.
Penolakan dan penerimaan pribadi
Pada penolakan pribadi
digunakan cinta dan afeksi. Seseorang kan berperilaku dingin dan tidak perduli
sehingga pihak lain akan merasa bersalah. Sebaliknya, ekspresikan perasaan
positif pada orang lain. Konflik apapun dihadapi bukan untuk disesali dengan
tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan karena kita mencintai orang tersebut.
h.
Melawan "di bawah dan di atas ikat
pinggang"
Melawan dari bawah (atau
dari belakang) hanya akan mennambah masalah. Bawalah konflik pada area dimana
lawan bisa memahami dan mengatasinya. Ingatlah, konflik interpersonal bukan
mencari siapa yang menang dan yang kalah, tapi untuk mengatasi masalah dan
memperkuat hubungan.
i.
Argumentatif dan agresif verbal
Agresif verbal adalah
suatu cara untuk memenangkan argumen dengan memberikan rasa kesakitan secara
psikologis dengan menyerang konsep diri orang lain, misal latar belakangnya,
penampilan fisik, dan lain-lain. Argumentatif adalah kesediaan untuk berdebat mengenai
suatu sudut pandang, mengatakan pemikiran dari suatu sudut pandang.
2. Konflik
Interpersonal Pada Masa Remaja
Remaja
memulai proses penyesuaian sosial dengan mencoba membangun hubungan dengan
orang-orang di luar lingkungan keluarga dan sekolah, termasuk menjalin hubungan
dengan lawan jenis. Hubungan-hubungan itu tidak terjadi sebelumnya, sehingga
hal ini sering membawa konflik bagi remaja yang bersangkutan. Konflik yang
terjadi berkisar di sekitar konflik nilai dan standar kelompok yang baru dirasakan
individu , dimana hal itu sangat berpengaruh bagi penerimaan maupun penolakan
sosial terhadap individu (Aryanti,1997).
Pengertian
konflik interpersonal dalam suatu hubungan pada masa remaja yaitu interaksi
oposisi, yang dilihat sebagai rangkaian suatu bagian hubungan interpersonal
yang alami dari harapan-harapan peran yang terkait dengan transisi tingkat usia
dan perubahan kemasakan (Hartup & Shantz, 1992). Selanjutnya disebutkan
bahwa kecemasan dan akumulasi stress dari transisi yang berlipatganda akan
semakin bertambah ketika konflik dimunculkan ataupun konflik tidak dikendalikan
secara efektif.
Terdapat
tiga preposisi yang dikemukakan oleh Shantz dan Hartup (1992) mengenai konflik
interpersonal dan proses perkembangan dalam suatu hubungan pada remaja yaitu :
a.
Konflik menyediakan suatu
perspektif pada perbedaan diantara beraneka hubungan dimana remaja
berpartisipasi dan jalinan hubungan yang fungsional antara mereka.
b.
Proses konflik merupakan
sesuatu yang integral bagi adaptasi perkembangan baik bagi individu remaja itu
sendiri maupun bagi dyad-dyad dimana mereka terlibat.
c.
Konflik pada hubungan
yang akrab memberi kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi perkembangan
kompetensi dan kesehatan psikososial selama masa remaja.
Tampaklah
bahwa pemahaman proses konflik pada masa remaja bisa menjelaskan adaptasi dari
suatu hubungan bagi perubahan individu sekaligus perkembangan dari ketrampilan
dalam mengelola konflik.
3. Pemecahan
Konflik Interpersonal Remaja
Pemecahan
masalah menunjuk pada proses perilakuan yang bersifat secara nyata maupun
secara kognitif. Hal ini karena pemecahan masalah merupakan proses atau tehnik
individu mencoba menemukan suatu solusi terhadap masalah (D'Zurilla dan
Goldfried, 1971). Individu membuat bermacam-macam alternatif respon untuk
menghadapi situasi problematik, dan melakukan penyeleksian respon dari
alternatif-alternatif yang ada.
Tujuan
dari pemecahan masalah adalah untuk merangsang perilaku yang kemungkinan
menghasilkan akibat positif dan menghindari akibat negatif (D'Zurilla dan
Goldfried, 1971). Individu belajar tentang perilaku-perilaku yang kemungkinan
menimbulkan akibat positif dan negatif. Individu belajar untuk mengontrol
perilakunya, sehingga segala perilaku yang muncul akan berdampak positif baik
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian pemecahan masalah
menunjuk pada proses belajar yang melibatkan strategi kognitif dan ketrampilan
kontrol diri yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kompetensi yang
dimiliki (D'Zurilla dan Goldfried, 1971).
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa pemecahan masalah adalah
proses pada individu untuk menetapkan solusi dari masalah yang dihadapinya
untuk menghasilkan dampak yang positif melalui proses belajar dan penyeleksian
atas alternatif-alternatif yang memungkinkan.
Khusus pada penelitian
ini, peneliti menyebut pemecahan masalah sebagai pemecahan konflik
interpersonal, karena masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah konflik
interpersonal, khususnya pada remaja.
4. Popularitas
Remaja
Sebagai
mahluk sosial setiap individu membutuhkan orang lain dan senantiasa melakukan
interaksi dengan orang lain. Tak terkecuali pada remaja yang juga dituntut
untuk menjalin hubungan sosial dan melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan
sosialnya. Penyesuaian ini dimaksudkan agar ia dapat diterima dalam kelompok
tersebut. Keberhasilannya dalam menjalin hubungan sosial dapat dilihat dari
diterima tidaknya remaja tersebut di lingkungan sosialnya.
Walgito dalam
Muslimah (1996) menjelaskan bahwa untuk melihat baik tidaknya hubungan sosial
sesorang dapat dilihat dari berbagai segi yaitu :
1.
Dari segi frekuensi, yaitu sering tidaknya
seseorang mengadakan hubungan dengan orang lain.
2.
Dari segi intensitas, yaitu segi mendalam
tidaknya seseoarng itu di dalam pergaulan atau hubungan sosialnya.
3.
Dari segi popularitas, yaitu dalam arti
banyak sedikitnya teman bergaul.
Buhrmester dkk. (1988)
dalam Muslimah (1996) meringkas hasil penelitian para ahli tentang pentingnya
menjalin hubungan interpersonal. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kemampuan menjalin hubungan interpersoanl berpengaruh terhadap banyak hal
seperti popularitas anak dalam kelompok sebaya, kesuksesan menjalin hubungan
antar jenis pada manusia dewasa dan kepuasan dalam perkawinan. Seseorang dengan
kemampuan menjalin hubungan interpersonal yang baik akan diterima di lngkungan
sosialnya, selanjutnya dapat membuatnya menjadi populer.
Kata
populer berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu kata populus yang
berarti rakyat banyak. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
populer memiliki arti : (1). Dikenal dan disukai orang banyak; (2). Sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya; mudah dipahami banyak orang; (3).
Disukai dan dikagumi orang banyak. Kesuksesan dalam dunia remaja seringkali
digambarkan oleh popularitas.
Popularitas
menunjukkan kemampuan seseorang dalam melakukan hubungan sosialnya, yaitu
keberhasilan dalam membina hubungan dengan teman yang ditandai dengan
penerimaan dan atau penolakan individu atau kelompoknya (Roosianti, 1994).
Menurut Fuhrman (1990)
popularitas adalah penerimaan teman sebaya dan kemudahan mendapatkan teman yang
dapat meningkatan pengaruh seseorang di dalam kelompok teman sebayanya.
Dilanjutkannya, popularitas menunjukkan suatu keberhasilan dimana seorang
remaja dapat diterima oleh teman sebayanya dan dapat dengan mudah membina
hubungan berteman yang akan memperkuat kedudukannya dalam kelompok teman
sebaya.
Popularitas adalah
ukuran untuk melihat baik tidaknya seseorang di dalam hubungan sosialnya yang
ditandai oleh banyak sedikitnya teman bergaul (Walgito, 1993). Popularitas
remaja dalam kelompoknya merupakan petunjuk bahwa remaja disukai dan diterima
oleh teman-teman sebayanya ( Handayani, 1991).
Berdasarkan
pendapat beberapa ahli tersebut disimpulkan bahwa popularitas adalah penerimaan
individu dalam kelompoknya dan ia lebih disukai, dan dikagumi oleh teman sebaya
dalam kelompoknya tersebut.
Remaja
yang populer tidak hanya berperilaku yang sesuai dengan harapan kelompoknya, ia
bahkan cenderung memiliki pengaruh dalam artian dianggap memiliki karakteristik yang lebih dibandingkan
dengan teman sebayanya. Popularitas ini sendiri tidak mutlak sifatnya.
Seseorang bisa menjadi sangat disukai dan populer pada suatu waktu, namun di
saat lain kepopulerannya memudar seiring berubahnya aspek-aspek popularitas
yang menjadi indikator di kelompok tersebut. Tak heran banyak remaja melakukan
berbagai cara untuk tetap mempertahankan popularitasnya mengingat keuntungan yang
didapat dengan menjadi populer.
Menurut
Fuhrman (1990) kriteria popularitas adalah daya tarik fisik, keahlian-keahlian,
dan karakteristik personal. Ciri -ciri individu yang populer adalah menerima
diri, mampu sendirian pada suatu waktu, ramah, pantas dalam perkataan, sikap,
cara berpakaian, minatnya ,dan menjadi individu.
Menurut
Hartup dalam Steinberg (1991), remaja yang populer selain mereka yang
perilakunya pantas di mata para remaja, mereka juga mempunyai penerimaan yang
baik terhadap kebutuhan orang lain, mereka percaya diri tanpa jadi sombong,
ramah, ceria, berperangai baik dan humoris. Hollingshead dalam Steinberg (1991)
menambahkan mereka juga memiliki inteligensi yang lebih baik daripada teman
sebayanyPa yang tidak populer.
Orang
yang populer adalah orang yang memiliki pergaulan luas, diterima, dan disukai
oleh individu maupun kelompok dalam lingkungannya (Grinder, 1978: Walgito,
1980). Kail dkk. (1993) mengungkapkan bahwa anak yang populer adalah mereka
yang disukai oleh banyak teman sekelas. Sedangkan menurut Scarr (1986)
indikator popularitas adalah nama, daya tarik fisik, ras, sekse, dan
kepribadian. Dengan ciri-cirinya itu remaja menjadi mudah diterima oleh
sebagian besar teman-temannya dalam kelompok, ia disukai dan dikenal oleh
guru-gurunya sebagai remaja yang mudah mencari teman, ia menjadi pusat
perhatian, dan dipilih oleh teman-temannya untuk menduduki posisi terhormat
dalam kelompoknya.
Oleh karena itu maka remaja perlu memiliki
sikap, daya tarik, perasaan, dan ketrampilan sosial yang dapat meningkatkan
popularitasnya dalam kelompok sebaya.
Namun
secara umum untuk menjadi populer maka perlu untuk meningkatkan aspek-aspek
dalam pergaulan disamping sifat-sifat pribadi dan kemampuan yang sudah ada pada
diri seseorang.
Sigall
& Lindzey dalam Grinder (1978) mengemukakan bahwa daya tarik fisik,
kepandaian, kebaikan hati dan keramahan turut menentukan popularitas seseorang.
Selanjutnya dikemukakan bahwa fasilitas dan materi yang dimiliki seseorang juga
mendukung popularitasnya disamping status sosial dan pendidikan orang tua. Hal
itu menurut Grinder (1978) menunjukkan bahwa kepopuleran seseorang bisa
didapatkan karena dicapai (achieved) maupun karena diberikan (ascribed).
Popularitas yang diberikan ini misalnya memiliki kekayaan seperti baju yang
bagus, mobil, uang dan sebagainya. Snyder dalam Grinder (1978) membagi lima
atribut dasar popularitas dimana atribut kelima merupakan popularitas yang
diberikan (ascribed). Atribut-atribut tersebut yaitu : (1) kualitas
personal, wajah tampan, dan kerapian; (2) aktivitas sosial dan olahraga, ikut
dalam kelompok yang tepat dan memiliki status; (3) prestasi akademik,
memperoleh nilai yang baik; (4) berteman dengan orang yang "tepat",
memiliki koneksi dan teman dekat yang :keren" dan (5) kepemilikan materi, uang,
mobil, baju, rumah bagus dan sebagainya.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian
ini akan dilakukan dengan metode studi pustaka (literatur). Studi pustaka
dimaksudkan untuk mencari data dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan
dengan judul penelitian/penulisan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada
saat ini di negara kita kerapkali ditemui munculnya konflik-konflik
interpersonal yang sangat merugikan semua pihak. Remaja termasuk kelompok
masyarakat yang sering dikambinghitamkan sebagai pencetus timbulnya konflik.
Hal ini bisa dicermati dari maraknya berita tentang perkelahian atau tawuran
yang dilakukan oleh remaja. Benar tidaknya tuduhan tersebut perlu ditanggapi
dengan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi hal itu. Seperti yang
diuraikan pada bab sebelumnya, ketika memasuki remaja, setiap individu mulai
mengembangkan kehidupan sosialnya. Remaja mulai dihadapi pada konflik-konflik
interpersonal seiring bertambahnya interaksi yang dilakukan. Setiap individu
termasuk remaja berbeda-beda caranya dalam menyelesaikan masalah dan konflik
yang dihadapi.
Rakhmat (1994)
berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah adalah :
a.
Faktor Situasional
b.
Faktor Personal.
Faktor situasional
yaitu stimulus yang menimbulkan masalah, sifat-sifat masalah, tingkat kesulitan
masalah, tingkat kepentingan masalah, dan lain-lain. Faktor personal dibagi
menjadi dua, yaitu faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis
adalah keadaan biologis yang terlalu lelah, terlalu lapar, dan kurang tidur.
Dalam keadaan demikian individu akan mengalami penurunan kemampuan berpikir.
Faktor sosiopsikologis yaitu: (a). Motivasi, motivasi yang rendah mengalihkan
perhatian, sebaliknya motivasi yang tinggi akan membatasi fleksibilitas; (b).
Kepercayaan dan sikap yang salah, asumsi yang salah dapat menyesatkan; (c).
Kebiasaan, kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu atau
melihat masalah hanya dari satu sudut pandang akan menghambat pemecahan masalah
yang efisien; (d). Emosi, emosi dengan intensitas yang tinggi akan menghambat
berpikir objektif.
Faktor
sosiopsikologis yang lain diungkapkan oleh beberapa ahli lain adalah perhatian,
tingkat kecerdasan (Matlin.,1989), pengalaman (Small,1990), dan kreatifitas
(Solso,1988).
Perhatian
merupakan unsur penting dalam pemahaman terhadap suatu masalah. Perhatian yang
terpecah-pecah akan menghambat individu dalam pemecahan masalah karena individu
kurang mampu memahami masalah dengan baik.
Tingkat kecerdasan
atau inteligensi adalah kapasitas umum dalam memahami dan berpikir yang dapat
dilihat dalam berbagai bentuk ( Binet, seperti dikutip dalam Atkinson,dkk.,
1983), seperti penilaian (judgement), pemahaman, dan penalaran. Suatu
hasil penelitian mengindikasikan bahwa inteligensi berpengaruh terhadap
kemampuan memecahkan masalah individu (Utami,1992). Inteligensi tinggi akan
lebih mudah dalam penilaian, penalaran, dan pemahaman terhadap suatu masalah
atau hal-hal baru.
Pengalaman belajar
baik yang berasal dari sekolah maupun dari pengalaman hidup akan banyak
berperan dalam usaha menyelesaikan masalah (Gagne', seperti dikutip dalam
Utami, 1992) . Latar belakang pengetahuan , konsep, dan prinsip yang dimiliki
individu merupakan kelebihan yang mendukung pemecahan masalah. Kelebihan ini
diperoleh melalui proses belajar (Davits dan Ball, seperti dikutip dalam Utami,
1992).
Kreatifitas
merupakan faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah, karena kreatifitas
memungkinkan individu untuk berpikir dengan respon atau gagasan baru, berpikir
secara realistis, dan berusaha mempertahankan insight yang orisinal,
menilai dan mengembangkannya (MacKinnon, aeperti dikutip dalam Rakhmat, 1994).
Selain daripada
itu, ahli lain berpendapat bahwa perbedaan hasil pemecahan masalah karena
adanya perbedaan individu dalam gaya pemecahan masalah. Perbedaan ini terjadi
karena adanya perbedaan penilaian diri. Individu dengan penilaian diri negatif
akan cenderung lebih banyak mengalami hambatan dalam pemecahan masalah
dibandingkan dengan individu dengan penilaian diri positif.
Faktor-faktor
sosiopsikologis seperti yang telah diungkapkan melibatkan pengalaman, juga
karakteristik personal yakni inteligensi, emosi, dan lain sebagainya yang
memiliki keterkaitan dengan popularitas yang dimiliki seseorang.
Popularitas ini
sendiri pada masa remaja menjadi suatu hal yang diidam-idamkan. Melalui
popularitas yang di raih, remaja merasa berharga, merasa diakui keberadaannya,
karena penerimaan dari kelompoknya. Bahkan menurut Mappiare (1982), hal-hal
yang disepakati para ahli sebagai mendatangkan kebahagiaan bagi remaja salah
satunya adalah diterima dalam kelompok dan populer di dalamnya mendatangkan
kebahagiaan bagi banyak remaja.
Dari berbagai
pendapat serta uraian bahwa indikator popularitas berbeda di tiap kelompok pada
bab sebelumnya, maka diambil kesimpulan umum yang lebih mendasar tentang
aspek-aspek popularitas yaitu;
a.
Daya tarik fisik
Tidak bisa dipungkiri bahwa remaja sangat
memperhatikan penampilan fisik, mereka berlomba-lomba untuk tampil cantik
sehingga dapat menarik perhatian. Remaja yang populer umumnya memiliki
penampilan yang menarik. Mereka cenderung bisa menonjolkan segala kelebihan
fisiknya dan cara menampilkannya. Hal ini didukung oleh pendapat para ahli
dalam Grinder (1973), bahwa persepsi terhadap popularitas dan daya tarik fisik
merupakan suatu efek yang resiprokal satu sama lain.
b.
Karakteristik Personal
Mereka yang populer
cenderung memiliki sifat-sifat yang disukai oleh teman sebaya di kelompoknya.
Mereka ramah, tidak sombong, dan cerdas.
Orang-orang yang populer
sering terlibat dalam kegiatan di kelompoknya, umumnya mereka juga
pemimpin-pemimpin kelompok atau diberi posisi terhormat di kelompoknya, baik
secara formal maupun non formal.
Scarr
(1986) mengemukakan ada beberapa perbedaan antara remaja yang populer
dibandingkan mereka yang tidak populer, antara lain : anak yang populer akan
menunggu sebentar sebelum mereka berbicara atau bertindak dan kemudian
memfokuskan pada kegiatan yang dihadapi daripada diri mereka sendiri, anak yang
populer akan mencari strategi lain dengan usaha yang efektif untuk mendapatkan
perhatian, anak yang populer memiliki strategi yang prososial dalam menghadapi
konflik, sementara mereka yang tidak populer melakukannya secara agresif baik
verbal maupun fisik.
Cole (1963)
mengemukakan bahwa remaja bisa memenangkan rasa kagum dan teman-teman
dikarenakan insight superior yang dimilikinya dalam bagaimana untuk
memilih alternatif-alternatif supaya memaksimalkan pencapaian tujuan, kemampuan
mereka untuk mengorganisasikan sumber-sumber yang tersedia dengan baik, dan
kapasitas mereka untuk bertindak secara efektif melalui cara yang disetujui
secara sosial. Hal ini sesuai dengan kesimpulan karakteristik ataupun aspek
aspek popularitas yakni karakteristik personal mengenai kecerdasan ataupun
inteligensi. Karakteristik tersebut berkaitan dengan salah satu faktor
kemampuan pemecahan masalah interpersonal atau lebih khusus konflik
interpersonal yakni faktor sosiopsikologis. Kemampuan pemecahan konflik
interpersonal ini sendiri menjadi penting dan tidak bisa terpisahkan dalam
kehidupan remaja. Setiap harinya remaja melakukan interaksi dengan lingkungan
sosialnya dan melakukan kontak interpersonal, atau berhubungan dengan orang
lain, seperti orangtua, saudara, sahabat, teman, guru, dan lain sebagainya.
Kemampuannya memecahkan konflik interpersonal dengan baik akan mendukung
penyesuaian remaja di lingkungan sosialnya. Sebaliknya, pemecahan yang kurang
baik seperti agresif dan merugikan orang lain akan ditolak oleh lingkungan sosial.
Hal ini juga didukung oleh pendapat Kail dkk. (1993) bahwa ditemukan korelasi
antara popularitas dengan ketrampilan sosial, sebaliknya hubungan ditolak
dengan agresi dan withdrawl. Tampaklah bahwa popularitas dan kemampuan
pemecahan konflik interpersonal menjadi penting bagi remaja. Bagaimana
popularitas seseorang juga bisa meningkatkan kemampuan pemecahan konflik
interpersonalnya, seperti yang dijelaskan terdahulu bahwa remaja yang populer
cenderung matang emosinya, inteligensinya juga cukup baik, kemudian ia memiliki
pengalaman berinteraksi secara interpersonal yang lebih banyak dibanding teman
sebayanyanya dikarenakan pergaulannya yang luas. Hal -hal tersebut merupakan
beberapa faktor yang membentuk faktor sosiopsikologis yang menentukan kemampuan
seseorang memecahkan konflik khususnya konflik interpersonal. Remaja yang
berhasil dalam hubungan sosialnya yakni mereka yang diterima di kelompok dan
populer, secara personal akan lebih percaya diri untuk melakukan interaksi
dengan lingkungan sosialnya. Semakin sering ia melakukan interaksi (pada remaja
yang populer ditunjukkan oleh banyaknya teman bergaul) maka semakin banyak pula
nilai-nilai sosial yang dipelajarinya. Kemudian semakin sering pula ia
mengahadapi situasi sosial yang mengandung konflik. Banyaknya pengalaman yang
dimilikinya dalam mengatasi
berbagai
konflik dan permasalahan yang berkaitan dengan situasi sosial dan hubungan
interpersonal khususnya akan membuat remaja tersebut kaya akan pengetahuan dan
ketrampilan bagaimana menghadapi permasalahan selanjutnya, dalam arti pemecahan
konflik yang tepat, efektif, positif dan sesuai dengan harapan sosial.
Disimpulkan oleh Shantz dan Hartup (1992) dari beberapa ahli bahwa remaja yang
populer dalam menghadapi konflik akan lebih kompromi, lebih positif,
akomodatif, berorientasi pada aturan, lebih efektif, dan lain-lain. Dilanjutkan
bahwa anak yang populer akan mengadopsi relationship-focused strategies
pada setiap situasi-situasi yang hipotetik. Oleh sebab itu semakin kuat dugaan
bahwa remaja dengan tingkat popularitas yang tinggi juga memiliki kemampuan
pemecahan konflik interpersonal yang tinggi pula.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan studi
pustaka yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa popularitas mempengaruhi
kemampuan pemecahan konflik interpersonal pada remaja. Popularitas bisa
diperoleh remaja dengan suatu usaha yang disengaja dan mendapat dukungan dari
lingkungannya. Popularitas dapat digunakan sebagai salah satu usaha remaja
meningkatkan ketrampilan sosialnya khususnya kemampuannya dalam pemecahan
konflik interpersonal. Mengingat remaja juga merasa bahagia menjadi populer,
maka segala usaha untuk mencapai tujuan tersebut menuntun remaja untuk
melakukan hubungan interpersonal yang sesuai dengan harapan sosial atau dengan
kata lain mampu menyelesaikan konflik interpersonal yang ditemui dan
mneghindari efek negatif dari konflik yang ditemui.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan yang diperoleh beberapa saran antara lain :
a.
Bagi Guru dan Orangtua
Guru dan orangtua dapat memfasilitasi
kebutuhan remaja untuk menjadi populer dengan memberi kesempatan remaja bergaul
seluas-luasnya dengan teladan-teladan yang baik dan memotivasi remaja agar
percaya diri dan mengembangkan kemampuan diri.
b.
Bagi Remaja
Remaja dapat memotivasi diri sendiri untuk
mencapai popularitas sehingga dapat merasakan manfaat menjadi populer yang
salhsatunya adalah kemampuan pemecahan konflik interpersonal yang nantinya kan
sangat berguna pada tahap perkembangan selanjutnya.
c.
Bagi Penulis/Peneliti Selanjutnya
Penulis
selanjutnya dapat memperkaya dan memperluas permasalahan popularitas dan
kemampuan penyelesaian masalah interpersonal pada masa dewasa. Hal ini mengingat
manfaat yang diperoleh jika seseorang memiliki kemampuan dalam memecahkan
konflik interpersonal dan juga ada kecenderungan bahwa popularitas diinginkan
di setiap tingkatan usia. Bagi peneliti, popularitas dan kemampuan pemecahan
konflik interpersonal dapat juga dianalisis kuantitatif sehingga dapat disusun
alat ukur untuk mengetahui tingkatan popularitas seseorang dan tingkatan
kemampuan pemecahan konflik interpersonalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin,
T. 1996. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Tesis
(tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Aryanti,
B.D. 1997. Hubungan Antara Self Esteem Dengan Munculnya Perilaku Kepemimpinan
Dalam Kelompok Sebaya Usia Remaja Pada Saat Penyesuaian Konflik. Skripsi
(tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Cole,
L. 1963. Psychology Of Adolescence. Fifth Edition. New York : Holt,
Rinehart and Winston, Inc.
Devito,
J. A.1995. The Interpersonal Communication Book. New York :
HarperCollins
Publishers.
D'Zurilla,
T.J., & Goldfried, M.R 1971. Problem Solving And Behavior Modification.
Journal Of
Abnormal Psychology. Vol. 78, No. 1, 107-126.
Faturochman,
Sugiyanto, Wisjnu Martani, Thomas Dicky, Purbo Hardjito. 1995. Ketrampilan
Pemecahan Masalah Sosial Bagi Siswa SLA. Laporan Penelitian.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Fuhrmann,
B. S. 1990. Adolescence, Adolescents. Illinois : Scott, Foresman/
Little, Brown Higher Education.
16
e-USU Repository ©2005
Universitas Sumatera Utara
Grinder,
R.E. 1978. Adolescence. Second Edition. New York : John Wiley and Sons
Inc.
Kail,
Roberts, V., Nelson, W.C. 1993. Developmental Psychology. New Jersey :
Prentice
Hall.
Mappiare,
A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional.
Muslimah,
S. 1990. Hubungan Antara Popularitas Dan Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan
Dalam Komunikasi Interpersonal Pada Siswa SMU Negeri 1 Wates Kulon Progo. Skripsi
(tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Myers,
G. E. & Myers, M.T. 1992. The Dynamics of Human Communication : A Laboratory
Approach. Sixth Edition. Singapore : McGraw-Hill, Inc.
Rachmat,
K. 2000. Hubungan Kedemokratisan Pola Asuh Ibu Dengan Strategi Menghadapi
Masalah Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Roosianti, W. 1994. Hubungan Antara Pemantauan Diri Dan
Popularitas Dengan Pengungkapan Diri Pada Remaja. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Rostiana.
1999. Deskripsi dan Dinamika Konflik Pada Boundary Role Person. Arkhe
Jurnal Ilmiah Psikologi. Th. 4/ No.7/September 1999. Jakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Scarr,
S. 1986. Understanding Development. Florida : Hartcort Brace Jovanovich,
Publishers.
Sears,
D.O., Freedman, J. L., Peplau, L.A. 1985. Psikologi Sosial (Terj.
Michael Adryanto). Jakarta : Penerbit Erlangga.
Shantz,
C. U., Hartup, W (Editor). 1992. Conflict In Child And Adolescent
Development. New York : Cambridge University Press.
Small,
M. Y. 1990. Cognitive Development. Florida : Hartcourt Brace Javanovich
Publishers.
Solso,
R.L. 1991. Cognitive Psychology. Boston : Allyn & Bacon Inc.
Steinberg,
L., Belsky, J. 1991. Infancy, Childhood, Adolescence. New York :
McGraw-Hill, Inc.
17
e-USU Repository ©2005
Universitas Sumatera Utara
Suardiman.
1995. Menyiasati Perilaku Remaja Untuk Tampil Prima & Bahagia. Buletin
Psikologi. Tahun II.
Taylor,
Peplau, L. A., Sears, D. O.1994. Social Psychology. New Jersey :
Prentice Hall.
Utami,
A. B. 1992. Hubungan Pengalaman Belajar, Kemandirian, dan Inteligensi Dengan
Kemampuan Menyelesaikan Masalah Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Untag '45
Surabaya. Disertasi. Yogyakarta : Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada.
Walgito,
B. 1980. Psikologi Sosial. Yogyakarta:Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah
Mada
…………… 2001.
Dipelototi, Pelajar SMSR Ditusuk. Radar Yogya. 30 Januari 2001.
Yogyakarta.
………..…. 2001.
Tawuran SMK. Radar Yogya. 15 Februari 2001. Yogyakarta.
……….….
2001. Pelajar Tawur, Empat Luka-luka. Radar Yogya. 17
Februari 2001. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar