TEORI SELF – CARL ROGERS
A. Hakekat Kepribadian
Rogers
terkenal berkat pendekatan humanistiknya. Pendekatan humanistik sangat
menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Setiap orang memiliki
potensi untuk berkembang mencapai aktualisasi diri. Rogers mengemukakan 19
rumusan mengenai hakekat pribadi (self)
sebagai berikut:
1. Organisme berada dalam dunia pengalaman yang terus menerus berubah (phenomenal field) dimana dia menjadi
titik pusatnya. Pengalaman adalah segala
sesuatu yang berlangsung di dalam diri individu pada saat tertentu, meliputi
proses psikologik, kesan-kesan sensorik dan aktivitas-aktivitas sensorik.
2. Organisme mananggapi dunia sesuai persepsinya.
3. Organisme mempunyai kecenderungan pokok yakni keinginan untuk mengaktualisasikan-memelihara-meningkatkan
diri.
4. Organisme mereaksi medan fenomena secara total dan berarah tujuan.
5. Pada dasarnya tingkahlaku merupakan usaha yang berarah tujuan untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan mengaktualisasikan-mempertahankan-memperluas diri dalam
medan fenomenanya.
6. Emosi akan menyertai tingkah laku yang berarah tujuan, sehingga intensitas
(kekuatan) emosi itu tergantung kepada pengamatan subyektif seberapa penting
tingkah laku itu dalam usaha aktualisasi diri dalam usaha
aktualisasi-memelihara-mengembangkan diri.
7. Jalan terbaik untuk memahami tingkah laku seseorang adalah dengan memakai
kerangka pandangan orang itu sendiri. Yakni persepsi, sikap dan perasaanyang
dinyatakan dalam suasana yang bebas.
8. Sebagian dari medan fenomenal secara berangsur mengalami diferensiasi,
sebagai proses terbentuknya self. Self adalah kesadaran akan keberadaan dan fungsi diri, yang diperoleh melalui
pengalaman dimana diri (I or Me) terlibat di dalamnya sebagai obyek atau
subyek.
9. Struktur self terbentuk sebagai hasil interaksi organisme dengan medan
fenomenal, terutama interaksi evaluatif dengan orang lain. Struktur self adalah
suatu pola pengamatan yang bersifat utuh/bulat, teratur, mudah bergerak dan konsisten
dengan gambaran I atau me dan nilai-nilai lingkungan. Dari
pengalamannya, anak akan belajar bahwa dirinya adalah satu obyek yang
berbeda dengan obyek lain dalam
lingkungannya. Selanjutunya pengalaman yang sesuai dengan dirinya akan dinilai
positif dan dimasukkan sebagai bagian dari dirinya, sebaliknya pengalaman yang
negatif akan ditempatkan diluar dirinya,
proses penilaian ini akan berlangsung terus menyususn struktur self dan mempertegas hubungannya dengan
lingkungan.
10. Apabila terjadi konflik antara nilai-nilai yang sudah dimiliki dengan
nilai-nilai baru yang akan diintroyeksi, organismen akan meredakan konflik itu
dengan merevisi gambaran dirinya serta
mengaburkan nilai-nilai yang semula ada dalam dirinya dengan mendistorsi
nilai-nilai baru yang akan diasimilasi.
11. Pengalaman yang terjadi di dalam kehidupan seseorang akan diproses oleh
kesadaran dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: disimbolkan,
dikaburkan atau diingkari.
12. Tingkah laku sesuai dengan konsep self.
Jadi, untuk mengubah tingkah laku adalah dengan mengubah konsep self.
13. Tingkah laku yang didorong oleh kebutuhan organis yang tidak dilambangkan,
bisa tidak konsisten dengan self. Tingkah laku semacam itu biasanya dilakukan
untuk memelihara gambaran diri dan tidak diakui sebagai bagian dari dirinya. .
14. Salahsuai psikologis akibat adanya tension, terjadi apabila organisme
menolak menyadari pengalaman sensorik yang tidak dapat disimbolkan dan disusun
dalam kesatuan struktur selfnya.
15. Penyesuaian psikologis terjadi apabila organisme dapat
menampung/mengatur semua pengalaman
sensorik sedemikian rupa dalam hubungan yang harmonis dalam konsep diri.
16. Setiap pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self akan diamati sebagai ancaman. Semakin
kuat struktur selfnya, maka semakin banyak pengalaman yang dianggap sebagai
ancaman karena tidak sesuai dengannya sehingga semakin kuat pula sikap
mempertahankan diri dari ancaman.
17. Dalam kondisi bebas dari ancaman terhadap struktur self,
pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan self dapat diamati dan diuji
dan struktur self dapat direvisi untuk dapat mengasimiliasi
pengalaman-pengalaman itu.
18. Apabila organisme mengamati dan menerima semua pengalaman sensoriknya ke
dalam sistem yang integral dan konsisten, maka dia akan lebih mengerti dan
menerima orang lain sebagai invidu yang berbeda. Orang-orang yang defensif dan mengingkari perasaannya sendiri
cenderung iri dan benci kepada orang lain yang akan merusak hubungan sosialnya.
19. Semakin banyak individu mengamati dan menerima pengalaman sensoriknya ke
dalam struktur self, kemungkinan terjadi introyeksi/revisi nilai-nilai semakin
besar, artinya terjadi proses penilaian yang berlanjut terus menerus terhadap
sistem struktur self. Evaluasi dan
perubahan nilai ini tidak akan menimbulkan anarki sosial karena didasarkan pada
kebutuhan yang sama yakni kebutuhan untuk diterima dan diakui orang lain.
B. Struktur Kepribadian
Dari 19
rumusannya mengenai hakekat pribadi, Rogers membaginya ke dalam tiga konstruk
yang menjadi dasar penting, yaitu:
1. Organism
Pengertian organisme mencakup tiga
hal:
a. Makhluk hidup: Organisme adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan
psikologisnya, tempat semua pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial
terdapat dalam kesadar setiap saat
b. Realitas subyektif : organisme menanggapi dunia seperti yang siamati atau
dialaminya. Jadi realita bukan masalah benar atau salah melainkan masalah
persepsi yang sifatnya subjekstif.
c. Holisme : organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perybahan pada satu
bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi
atau bertujuan, yakni tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan
diri
2. Medan Fenomena
Medan fenomena. Keseluruhan pengalaman itu, baik yang internal maupun eksternal,
disadari maupun tidak disadari dinamakan medan fenomena. Medan fenomena adalah
seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana
persepsi subyektifnya.
3. Self
Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self, sehingga
dapat dikatakan self merupakan struktur kepribadian yang sebenarnya.
Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang ajeg dan terorganisir
tersusun dari persepsi ciri-ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek atau
aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan “I” atau “me” dengan orang lain dan
berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang terlibat dalam persepsi itu.
Konsep self menggambarkan konsepsi orang tentang dirinya sendiri, ciri-ciri
yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep self juga
menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai perannya dalam
kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.
Carl
Rogers mendeskripsikan the self atau self-structure sebagai
sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana setiap individu melihat dirinya
sendiri. Self ini dibagi 2 yaitu : Real Self dan Ideal Self. Real Self adalah
keadaan diri individu saat ini, sementara Ideal Self adalah keadaan diri
individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin
dicapai oleh individu tersebut.
C. Perkembangan Kepribadian
Pribadi Yang Berfungsi Utuh (Fully
Functioning Person)
Menurut Rogers tujuan hidup adalah mencapai aktualisasi diri atau memiliki
ciri-ciri kepribadian yang membuat kehidupan menjadi sebaik-baiknya.
Berfungsi penuh menggambarkan individu memakai kapasitas dan bakatnya,
merealisasi potensinya dan bergerak menuju pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan keseluruhan
pengalamannya. Rogers merinci 5 ciri kepribadian orang yang berfungsi
sepenuhnya, adalah:
a. Terbuka untuk mengalami (openess to
experience), adalah orang yang terbuka untuk mampu mendengar dirinya
sendiri, merasakan secara mendalam pengalaman visceral, sensori, emosional, dan
kognitif dalam dirinya tanpa merasa terancam. Orang yang memiliki sifat ini
adalah kebalikan dari sifat defensif/bertahan.
Orang yang terbuka ini sadar dengan fikiran dan perasaannya secara mendalam
yang semuanya disimbolisasikan tanpa distorsi atau denial.
b. Hidup Menjadi (Existential living),
kecenderungan untuk hidup sepenuhnya dan
seberisi mungkin pada setiap eksistensi. Setiap pengalaman akan dipandang baru
dan unik. Semua pengalaman itu akan
mengembangkan self dan kepribadian.
Orang menjadi fleksibel, adabtabel, toleran dan spontan.
c. Keyakinan organismik (organismic
trusting), orang mengambil keputusan berdasarkan pengalaman organismiknya sendiri, mengerjakan
apa yang dirasanya benar sebagai bukti kompetensi dan keyakinannya untuk
mengarahkan tingkah laku yang memuaskan.
Orang mampu menggunakan perasaannya yang terdalam sebagai sumber utama
untuk membuat keputusan. Kebalikan dari
keyakinan organismik adalah pengambilan keputusan berdasarkan sumebr eksternal
seperti norma sosial, penilaian orang
lain, aturan institusi dan lain sebagainya.
d. Pengalaman kebebasan (experiential
freedom), pengalaman hidup bebas dengan cara yang diinginkan/dipilih
sendiri, tanpa perasaan tertekan atau
terhambat. Organisme memiliki pilihan bebas, apa yang terjadi pada organisme
tergantung pada organisme itu sendiri. Orang itu melihat banyak pilihan hidup dan merasa mampu mengerjakan apa yang
ingin dia kerjakan. Tidak ada kebebasan yang absolut. Menurut Rogers,
pengaruh keturunan, kekuatan sosial dan
pengalaman masa lalu berpengaruh terhadap pilihan organisme.
e. Kreativitas (creativity),
meruapakan kemasakan psikologik yang optimal. Orang dengan good life berkemungkinan besar untuk memunculkan produk kreatif.
Orang yang kreatif cenderung untuk hidup
konstruktif dan adabtif dalam kulturnya (memuaskan lingkungan) sekaligus
memuaskan kebutuhannya yang terdalam.
D. Perkembangan Psikopatologi
Menurut
Rogers, orang maladjustmen sepertinya tidak sadar dengan perasaan yang mereka
ekspresikan. Mereka juga tidak sadar dengan pernyataan yang bertentangan dengan
self-nya dan berusaha menolak ekspresi yang dapat mengungkap hal itu.
Hubungan
akrab dipandang sebagai ancaman dan keterlibatan dengan orang lain dihindari.
Sebaliknya, orang sehat menyadari pengalaman dan ekspresi perasaanya,
bertanggung jawab dengan perasaan yang dimiliki dan berani bergaul akrab dengan
segala resikonya.
1. Tak Saling Suai (incongruence)
Seseorang yang secara psikologik sehat secara berkala tetap dihadapkan pada
pengalaman yang mengancam konsep dirinyayang memaksa untuk mendistorsi atau
mengingkari pengalamannya. Jadi siapapun mempunyai pertahanan untuk menangani
kecemasan ringan dan cara bertingkah laku untuk mengurangi kecemasan itu. Ketika pengalaman sangat tidak konsisten
dengan dengan struktur self, tingkat kecemasan yang terjadi dapat merusak
rutunitas dan orang menjadi neurotik. Orang ini sebagian pertanahnnya masih
efektif dalam menjaga pengalaman mengancam agar tidak masuk ke kesadaran.
Struktur self masih tetap utuh walaupun lemah.
Semakin besar jurang ketidak sesuaian antara konsep diri dengan pengalaman
organismik, semakin orang menjadi rentan. Jika tingkat inkongruennya sangat
tinggi, pertahanan mungkin tidak dapat dioperasikan. Pengalaman
disimbolisasikan ke dalam kesadaran sehingga konsep diri menjadi hancur. Kondisi dimana self tidak mampu mempertahankan
diri dari pengalaman yang mengancam ini akan menimbulkan disorganisasi
kepribadian dan psikopatologi yang membuat orang menjadi psikotik.
2. Kecemasan dan Ancaman
Rogers mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan ketidaknyamanan atau
ketegangan yang sebabnya tidak diketahui.
Ketika orang semakin menyadari ketidakknruenan antara pengalaman dan
persepsi dirinya, kecemasan berubah menjadi ancaman yang dapat menggeser konsep
diri konruen ke sikap diri tak konruen. Kecemasan dan ancaman yang menjadi
indikasi adanya ketidakkongruenan diri dengan pengalaman membuat orang berada
dalam perasaan tegang yang tidak menyenangkan, namun pada tingkat tertentu,
kecemasan dan ancaman itu dibutuhkan untuk
mengembangkan diri memperoleh jiwa yang sehat.
3. Tingkah Laku Bertahan (defensiveness)
Tingkah laku bertahan ini dipakai untuk mengangani inkongruen dapat efektif
atau tidak efektif. Menurut Rogers,
hanya ada dua jenis tingkah laku bertahan, yaitu:
a. Distorsi : pengalaman diinterpretasi secara salahdalam rangka
menyesuaikannya dengan aspek yang ada di dalam konsep self. Orang mempersepsi
pengalaman secara sadar tetapi gagal menagkap/tidak menginterpretasi makna
pengalaman seperti yang sebenarnya. Distorsi ini dapat menimbulkan bermacam
difense dan tingkah laku salah suai.
b. Orang menolak menyadari suatu pengalaman atau menghalangi beberapa bagian
dari pengalaman untuk disimbolisasi. Pengingkaran itu dilakukan terhadap
pengalaman yang tidak kongruen dengan konsep diri, sehingga orang terbebas dari
ancaman ketidakkogruena diri.
4. Disorganisasi
Disorganisasi kepribadian ini dapat terjadi secara mendadak atau
berangsur-angsur. Namun sumbernya tetap sama yaitu difense yang tidak dapat
dioperasikan dan struktur self yang pecah. Jadi tingkah laku disorganisasi
adalah adalah akibat dari ketidakkongruenan antara self dan pengalaman.
Besarnya perbedaan antara self dan pengalaman
yang menentukan menentukan parahnya salahsuai psikologik. Disorganisasi
ini dapat disembuhkan dengan terapi yang memberinya penerimaan tanpa syarat.
E.
Dinamika Kepribadian
1.
Penerimaan Positive (positive
regard)
Bayi mengembangkan konsep self dengan membedakan dan
kemudian menginternalisasi pengalaman eksternal yang memuaskan aktualisasi
dirinya bawaannya. Pengalaman dinilai
apakah dapat memberi kepuasan atau tidak, mula-mula secara fisik namun kemudian
berkembang menjadi kepuasan emosional dan sosial. Konsep self mencakup gambaran siapa dirinya,
siapa seharusnya dirinya dan siapa kemungkinan dirinya. Kesadaran memiliki
konsep diri kemudian mengembangkan penerimaan positif: kebutuhan diri agar
diterima baik, dicintai dan diakui lingkungannya. Penerimaan positif dari ibu
akan memuaskan bayi, namun apabila ibu tidak dapat memberikan penerimaaan positif
kepada bayinya, maka bayi menjadi frustasi dan manarik diri. Sebaliknya, mendidik
anak dengan pendekatan penerimaan positif bersyarat adalah mengembangkan superego yang berarti
memaksa anak mengembangkan menginternalisasi norma orangtuanya, dimana hanya
kalau anak dapat menyesuaikan dirinya dengan norma itu dia akan merasa
berharga. Anak terpaksa menghambat perkjembangan berbagai potensinya (yang
tidaksesuai dengan norma orang tuanya), mereka menjadi tidak bebas dan terhambat dalam mengembangkan aktualisasi
dirinya.
2.
Konsistensi dan Salingsuai Self
Perhatian Rogers yang utama adalah bagaimana organisme dan self dapat
dibuat lebih kongruen atau sebidang. Artinya ada saat dimana self berada pada
keadaan inkongruen, kongruensi self ditentukan oleh kematangan,
penyesuaian, dan kesehatan mental, self yang kongruen adalah yang mampu untuk
menyamakan antara interpretasi dan persepsi self I dan self me sesuai
dengan realitas dan interpretasi self yang lain. Semakin lebar jarak
antara keduanya, semakin lebar ketidaksebidangan ini. Semakin besar
ketidaksebidangan, maka semakin besar pula penderitaan yang dirasakan Jika
tidak mampu maka akan terjadi inkongruensi atau maladjustment atau neurosis.
3.
Aktualisasi Diri (Self
Actualization)
Rogers memandang organisme terus menerus bergerak maju.
Tujuan tingkah laku bukan untuk mereduksi tingkah laku tegangan energi namun
untuk mencapai aktuialisasi diri. Organisme memiliki satu kekuatan motivasi, dorongan aktialisasi diri dan satu
tujuan hidup menjadi aktualisasi diri.
Ada banyak kebutuhan namun semuanya tunduk melayani kecenderungan dasar organisme untuk aktualisasi,
yakni kebutuhan pemeliharaan (maintenance), dan peningkatan diri (enhancement). Dua kebutuhan lainnya yang juga memiliki arti
penting adalah penerimaan positif dari orang lain dan penerimaan positif dari diri sendiri. Keduanya dipelajari pada masa bayi, yaitu
ketika bayi dirawat, dicintai dan menerima regard postif dari orang lain.
a.
Pemeliharaan (maintenance)
: kebutuhan yang timbul dalam rangka memuaskan kebutuhan dasar seperti makanan,
udara, air dan keamanan. Pemeliharaan ini bersifat konservatif dalam bentuk
keinginan untuk mempertahankan konsep
diri yang dirasa nyaman. Orang
melawan ide baru, mengaburkjan pengalaman yang tidak sesuai dengan self karena
takut akan perubahan dan perkembangan yang akan menimbulkan bahaya yang
menyakitkan.
b.
Peningkatan diri (enhancement
) ; meskipun ada keinginan untuk mempertahankan keadaan tetap seperti apa
adanya, orang tetap ingin belajar dan berubah. Kebutuhan untuk menjadi lebih, berkambang dan mencapai tujuan dinamakan kebutuhan
peningkatan diri. Kebutuhan ini diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti:
rasa ingin tahu, kegembiraan, eksplorasi diri,
kemasakan dan persahabatan.
c.
Penerimaan positif dari orang lain (positive regard of others) : ketika kesadaran self muncul, bayi
mengembangkan kebutuhan untuk dicintai
atau diterima oleh orang lain di sekitarnya. Sebagai contoh, seorang
anak yang takut dengan anjing besar diperintah ayahnya , “tunjukkan kepada saya
seberapa berani kamu, ayo maju dan sentuh anjing itu”. Anak kemungkinan akan
mengesampingkan rasa takutnya dalam rangka memperoleh pujian anaknya
(penerimaan positif).
d.
Penerimaan positif dari diri sendiri (self regard)
Bersamaan dengan berkembangnya penerimaan positif dari orang
lain, anak juga mengembangkan penerimaan positif dari diri sendiri. Penerimaan diri ini merupakan akibat dari
pengalaman kepuasan/frustasi dari kebutuhan penerimaan positif dari orang lain.
Dari contoh diatas, ketika anak menerima pujian dari ayahnya, untuk tingkah lakunya yang berani, kalau anak
itu dapat melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya, dia akan mengembangkan
penerimaan diri negatif. Sebaliknya, kalau anak menerima dirinya sendiri secara
positif. Menurut Rogers, penerimaan diri
positif mencakup perasaan kepercayaan diri dan keberhargaan diri.
TEORI MORAL –
KOHLBERG DAN PIAGET
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin “mores”
yang berarti tata cara , kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti
perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangkan oleh
konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang
telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Terdapat dua pandangan dalam perkembangan moral menurut
Piaget dan Lawrence Kohlberg. Piaget berpendapat ada hubungan antara
tahap-tahap perkembangan kognitif dan kemampuan bernalar tentang
masalah-masalah moral. Kohlberg percaya bahwa perkembangan struktur logis yang
diusulkan Piaget perlu, walaupun tidak mencukupi bagi kemajuan dalam bidang
penilaian dan penalaran moral.
Teori Piaget tentang Perkembangan Moral
Piaget percaya bahwa struktur dan
kemampuan kognitif berkembang lebih dulu. Kemampuan kognitif kemudian
menentukan kemampuan anak-anak bernalar tentang situasi social. Sebagaimana
dengan kemampuan kognitif, Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral
berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, dalam hal ini dari tipe
penalaran moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan
pada sistem keadilan berdasarkan kerja sama dan ketimbalbalikan. Tahap-tahap
perkembangan moral Piaget disajikan pada table berikut ini .
Usia Anak
|
Tahap Perkembangan Moral
|
Ciri Khas
|
4 s/d 7 tahun
|
Realisme Moral
(dalam tahap perkembangan kognitif pra-operasional)
|
1.
Memusatkan pada akibat-
akibat perbuatan
2.
Aturan-aturan dipandang tak
berubah.
3.
Hukuman atas pelanggaran dipandang
bersifat otomatis
|
7 s/d 10 tahun
|
Masa Transisi
(dalam tahap perkembangan kognitif konkrit-operasional)
|
Perubahan secara bertahap ke arah pemilikan moral
tahap kedua
|
11 tahun ke atas
|
Otonomi, realisme dan resiprositas moral
(dalam tahap perkembangan kognitif formal-operasional)
|
1. Mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku moral.
2. Menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi yang dapat
berubah.
|
Piaget (1964) menamai tahap pertama perkembangan moral
sebagai moralitas heteronom, hal itu juga disebut tahap “realism moral” atau
“moralitas paksaan.” Heteronom berarti
tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh orang lain. Selama periode ini,
anak-anak yang masih muda terus-menerus dihadapkan dengan orang tua dan
orang-orang dewasa yang memberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini membawa hukuman
otomatis. Keadilan dilihat sebagai sesuatu yang otomatis, dan orang-orang yang
jahat pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga menggambarkan anak-anak pada
tahap ini menilai moralitas perilaku berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya.
Mereka menilai perilaku sebagai sesuatu yang jahat kalau hal itu menghasilkan konsekuensi
negative sekalipun maksud semula pelakunya adalah baik.
Tahap kedua dinamakan moralitas
otonomi atau “moralitas kerja sama.” Moralitas tersebut muncul ketika dunia
social anak itu berkembang hingga meliputi makin banyak teman. Dengan
terus-menerus berinteraksi dan bekerja sama dengan anak-anak lain, gagasan anak
tersebut tentang aturan dan karena itu juga moralitas mulai berubah. Kini
aturan adalah apa yang kita buat sebagai aturan. Hukuman atas pelanggaran tidak
lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan pertimbangan maksud pelanggar dan
lingkungan yang meringankan.
Menurut Piaget, anak-anak mengalami
kemajuan dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas otonomi dengan
perkembangan struktur kognitif tetapi juga karena interaksi dengan teman-teman
yang mempunyai status yang sama. Dia percaya bahwa menyelesaikan konflik dengan
teman-teman memperlemah sikap anak-anak mengandalkan otoritas orang dewasa dan
meningkatkan kesadaran mereka bahwa aturan dapat diubah dan seharusnya ada
hanya sebagai hasil persetujuan bersama.
Tahap-tahap Penalaran Moral menurut Kohlberg
Teori tahap Kohlberg (1963, 1969)
tentang penalaran moral adalah penjabaran dan perbaikan terhadap teori Piaget.
Sama seperti Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana anak-anak dan orang dewasa
bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi tertentu.
Kohlberg tidak mempelajari permainan anak-anak, tetapi lebih menyelidiki
tanggapan mereka terhadap beberapa situasi yang terstruktur atau dilema moral.
Kohlberg berpendapat bahwa orang
melewati rangkaian enam tahap penilaian atau penalaran moral. Tingkat dan
tahap-tahap penalaran moral Kohlberg disajikan pada table berikut.
Tingkat
|
Tahap
|
Konsep Moral
|
I
|
Moralitas
prakonvensional
(usia 4-10 tahun)
Tahap 1
Memperhatikan
ketaatan dan hukum
Tahap 2
Memperhatikan
pemuasan kebutuhan
|
1.
Anak menentukan keburukan berdasarkan tingkat hukuman
akibat keburukan tersebut.
2.
Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran diri dari
hukum.
Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. |
II
|
Moralitas
konvensional
(usia 10-13
tahun)
Tahap 3
Memperhatikan
citra “anak baik”
Tahap 4
Memperhatikan
hukum dan peraturan
|
1.
Anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan
patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk
menghindari hukuman.
2.
Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya.
Jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
1.
Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan
peraturan.
2.
Hukum harus ditaati oleh semua
orang.
|
III
|
Moralitas Pasca
Konvensional
(usia 13 tahun ke
atas)
Tahap 5
Memperhatikan hak
perseorangan
Tahap 6
Memperhatikan
prinsip-prinsip etika
|
1.
Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik sebagai hak
pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
2.
Perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan
untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.
Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena
alasan-alasan tertentu
1.
Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan
atas prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang
selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
2.
Keyakinan
terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu
berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.
Contoh : seorang
suami yang istrinya sedang sakit keras dan ia tidak punya uang, boleh jadi
akan mencuri obat atau mencuri uang untuk membeli obat tersebut untuk
menyelamatkan nyawa istrinya itu. Ia yakin bahwa di satu sisi tindakan
mencuri merupakan keharusan, sedang di sisi lain melestarikan kehidupan
manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu
sendiri (kasusHeinz).
|
Kohlberg mengelompokkan keenam tahap
tersebut menjadi tiga tingkat, yaitu : prakonvensional, konvensional dan
pasca-konvensional. Ketiga tingkat ini dibedakan oleh bagaimana anak atau orang
dewasa mendefinisikan apa yang dia pahami sebagai sesuatu yang benar atau
perilaku moral.
Tahap 1,
yang berada pada tingkat prakonvensional moralitas, mempunyai bentuk dan isi
yag sangat mirip dengan tahap moralitas heteronom Piaget. Pada tahap ini anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak
bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat
hukuman. Tahap 2, Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada
aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki
otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang
bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme),
perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran
tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai
tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri,
seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Jadi
hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, trimakasih dan keadilan.
Tingkat konvensional moralitas mulai
pada tahap 3, pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu
dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh
orang lain atau masyarakat. Selanjutnya tahap 4, Pada tahap ini anak
menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan
tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
Tahap 5 menandakan pintu masuk ke
tingkat pasca-konvensional moralitas. Disini terdapat kesadaran bahwa hukum dan
nilai suatu masyarakat agak berubah-ubah dan merupakan sesuatu yang khas bagi
masyarakat itu. Hukum dipandang perlu untuk mempertahankan tatanan sosial dan
untuk memastikan hak dasar kehidupan dan kebebasan. Tahap 6, pada tahap ini
selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/
buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu
perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori
perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata.
Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan
berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.
Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral
itu, kemudian Kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu
dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan moral,
maka motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut :
1.
Motif 1 : Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati
pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
2.
Motif 2 : Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan
keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman
dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, rasa nikmat. Atau
rasa sakit dari akibat hukuman.
3.
Motif 3 : Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang
nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
4.
Motif 4 : Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena
kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas kerugian
yang dilakukan terhadap orang lain.
5.
Motif 5 : erbuatan
moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa
hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan
bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri.
Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang
tidak rasional, tidak konsisten dan tanpa tujuan.
6.
Motif 6 : Perbuatan
moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri
karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan
antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dengan rasa
hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prnsip-prinsip moral.
DAFTAR PUSTAKA
Slavin, Robert E.
2008. Psikologi Pendidikan Teori dan
Praktik. Jakarta: PT Indeks
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
http://blog.uin-malang.ac.id/auliya28/2012/04/12/perkembangan-moral-peserta-didik/
http://hidayaheducation.blogspot.com/2011/12/teori-perkembangan-moral-piaget.html
http://sylvie.edublogs.org/2006/09/19/teori-perkembangan-moral/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar