Jumat, 14 Juli 2017

TEORI SELF DAN TEORI PERKEMBANGAN MORAL

TEORI SELF – CARL ROGERS
A.   Hakekat Kepribadian
Rogers terkenal berkat pendekatan humanistiknya. Pendekatan humanistik sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Setiap orang memiliki potensi untuk berkembang mencapai aktualisasi diri. Rogers mengemukakan 19 rumusan mengenai hakekat pribadi (self) sebagai berikut:
1.     Organisme berada dalam dunia pengalaman yang terus menerus berubah (phenomenal field) dimana dia menjadi titik pusatnya.  Pengalaman adalah segala sesuatu yang berlangsung di dalam diri individu pada saat tertentu, meliputi proses psikologik, kesan-kesan sensorik dan aktivitas-aktivitas sensorik.
2.    Organisme mananggapi dunia sesuai persepsinya.
3.    Organisme mempunyai kecenderungan pokok yakni keinginan untuk  mengaktualisasikan-memelihara-meningkatkan diri.
4.    Organisme mereaksi medan fenomena secara total dan berarah tujuan.
5.    Pada dasarnya tingkahlaku merupakan usaha yang berarah tujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan mengaktualisasikan-mempertahankan-memperluas diri dalam medan fenomenanya.
6.    Emosi akan menyertai tingkah laku yang berarah tujuan, sehingga intensitas (kekuatan) emosi itu tergantung kepada pengamatan subyektif seberapa penting tingkah laku itu dalam usaha aktualisasi diri dalam usaha aktualisasi-memelihara-mengembangkan diri.
7.    Jalan terbaik untuk memahami tingkah laku seseorang adalah dengan memakai kerangka pandangan orang itu sendiri. Yakni persepsi, sikap dan perasaanyang dinyatakan dalam suasana yang bebas.
8.    Sebagian dari medan fenomenal secara berangsur mengalami diferensiasi, sebagai proses terbentuknya self. Self adalah kesadaran akan keberadaan  dan fungsi diri, yang diperoleh melalui pengalaman dimana diri (I or Me) terlibat di dalamnya sebagai obyek atau subyek.
9.    Struktur self terbentuk sebagai hasil interaksi organisme dengan medan fenomenal, terutama interaksi evaluatif dengan orang lain. Struktur self adalah suatu pola pengamatan yang bersifat utuh/bulat, teratur, mudah bergerak dan konsisten dengan gambaran I atau me dan nilai-nilai lingkungan. Dari pengalamannya, anak akan belajar bahwa dirinya adalah satu obyek yang berbeda  dengan obyek lain dalam lingkungannya. Selanjutunya pengalaman yang sesuai dengan dirinya akan dinilai positif dan dimasukkan sebagai bagian dari dirinya, sebaliknya pengalaman yang negatif akan ditempatkan diluar dirinya,  proses penilaian ini akan berlangsung terus menyususn struktur self  dan mempertegas hubungannya dengan lingkungan.
10.  Apabila terjadi konflik antara nilai-nilai yang sudah dimiliki dengan nilai-nilai baru yang akan diintroyeksi, organismen akan meredakan konflik itu dengan  merevisi gambaran dirinya serta mengaburkan nilai-nilai yang semula ada dalam dirinya dengan mendistorsi nilai-nilai baru yang akan diasimilasi.
11.   Pengalaman yang terjadi di dalam kehidupan seseorang akan diproses oleh kesadaran dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: disimbolkan, dikaburkan atau diingkari.
12.  Tingkah laku sesuai dengan konsep self.  Jadi, untuk mengubah tingkah laku adalah dengan mengubah konsep self.
13.  Tingkah laku yang didorong oleh kebutuhan organis yang tidak dilambangkan, bisa tidak konsisten dengan self. Tingkah laku semacam itu biasanya dilakukan untuk memelihara gambaran diri dan tidak diakui sebagai  bagian dari dirinya. .
14.  Salahsuai psikologis akibat adanya tension, terjadi apabila organisme menolak menyadari pengalaman sensorik yang tidak dapat disimbolkan dan disusun dalam kesatuan struktur selfnya.
15.  Penyesuaian psikologis terjadi apabila organisme dapat menampung/mengatur  semua pengalaman sensorik sedemikian rupa dalam hubungan yang harmonis dalam konsep diri.
16.  Setiap pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur  self akan diamati sebagai ancaman. Semakin kuat struktur selfnya, maka semakin banyak pengalaman yang dianggap sebagai ancaman karena tidak sesuai dengannya sehingga semakin kuat pula sikap mempertahankan diri dari ancaman.
17.  Dalam kondisi bebas dari ancaman terhadap struktur self, pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan self dapat diamati dan diuji dan struktur self dapat direvisi untuk dapat mengasimiliasi pengalaman-pengalaman itu.
18.  Apabila organisme mengamati dan menerima semua pengalaman sensoriknya ke dalam sistem yang integral dan konsisten, maka dia akan lebih mengerti dan menerima orang lain sebagai invidu yang berbeda. Orang-orang yang  defensif dan mengingkari perasaannya sendiri cenderung iri dan benci kepada orang lain yang akan merusak hubungan sosialnya.
19.  Semakin banyak individu mengamati dan menerima pengalaman sensoriknya ke dalam struktur self, kemungkinan terjadi introyeksi/revisi nilai-nilai semakin besar, artinya terjadi proses penilaian yang berlanjut terus menerus terhadap sistem struktur self.  Evaluasi dan perubahan nilai ini tidak akan menimbulkan anarki sosial karena didasarkan pada kebutuhan yang sama yakni kebutuhan untuk diterima dan diakui orang lain.

B.     Struktur Kepribadian
Dari 19 rumusannya mengenai hakekat pribadi, Rogers membaginya ke dalam tiga konstruk yang menjadi dasar penting, yaitu:
1.     Organism
Pengertian organisme mencakup tiga hal:
a.    Makhluk hidup: Organisme adalah makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya, tempat semua pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadar setiap saat
b.    Realitas subyektif : organisme menanggapi dunia seperti yang siamati atau dialaminya. Jadi realita bukan masalah benar atau salah melainkan masalah persepsi yang sifatnya subjekstif.
c.    Holisme : organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perybahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi atau bertujuan, yakni tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri
2. Medan Fenomena
Medan fenomena. Keseluruhan pengalaman itu, baik yang internal maupun eksternal, disadari maupun tidak disadari dinamakan medan fenomena. Medan fenomena adalah seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.

3. Self
Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self, sehingga dapat dikatakan self merupakan struktur kepribadian yang sebenarnya. Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang ajeg dan terorganisir tersusun dari persepsi ciri-ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai subyek atau aku sebagai obyek) dan persepsi hubungan “I” atau “me” dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan, berikut nilai-nilai yang terlibat dalam persepsi itu. Konsep self menggambarkan konsepsi orang tentang dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya.  Konsep self juga menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai perannya dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.
Carl Rogers mendeskripsikan the self  atau self-structure sebagai sebuah konstruk yang menunjukan bagaimana setiap individu melihat dirinya sendiri. Self ini dibagi 2 yaitu : Real Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini, sementara Ideal Self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut.
C.    Perkembangan Kepribadian
Pribadi Yang Berfungsi Utuh (Fully Functioning Person)
Menurut Rogers tujuan hidup adalah mencapai aktualisasi diri atau memiliki ciri-ciri kepribadian yang membuat kehidupan menjadi sebaik-baiknya.
Berfungsi penuh menggambarkan individu memakai kapasitas dan bakatnya, merealisasi potensinya dan bergerak menuju pemahaman yang lengkap  mengenai dirinya sendiri dan keseluruhan pengalamannya. Rogers merinci 5 ciri kepribadian orang yang berfungsi sepenuhnya, adalah:
a.    Terbuka untuk mengalami (openess to experience), adalah orang yang terbuka untuk mampu mendengar dirinya sendiri, merasakan secara mendalam pengalaman visceral, sensori, emosional, dan kognitif dalam dirinya tanpa merasa terancam. Orang yang memiliki sifat ini adalah kebalikan dari sifat defensif/bertahan.
Orang yang terbuka ini sadar dengan fikiran dan perasaannya secara mendalam yang semuanya disimbolisasikan tanpa distorsi atau denial.
b.    Hidup Menjadi (Existential living), kecenderungan untuk hidup sepenuhnya  dan seberisi mungkin pada setiap eksistensi. Setiap pengalaman akan dipandang baru dan unik.  Semua pengalaman itu akan mengembangkan  self dan kepribadian. Orang menjadi fleksibel, adabtabel, toleran dan spontan.
c.    Keyakinan organismik (organismic trusting), orang mengambil keputusan berdasarkan  pengalaman organismiknya sendiri, mengerjakan apa yang dirasanya benar sebagai bukti kompetensi dan keyakinannya untuk mengarahkan tingkah laku yang memuaskan.  Orang mampu menggunakan perasaannya yang terdalam sebagai sumber utama untuk membuat keputusan.  Kebalikan dari keyakinan organismik adalah pengambilan keputusan berdasarkan sumebr eksternal seperti norma sosial,  penilaian orang lain, aturan institusi dan lain sebagainya.
d.    Pengalaman kebebasan (experiential freedom), pengalaman hidup bebas dengan cara yang diinginkan/dipilih sendiri,  tanpa perasaan tertekan atau terhambat. Organisme memiliki pilihan bebas, apa yang terjadi pada organisme tergantung pada organisme itu sendiri. Orang itu melihat banyak pilihan  hidup dan merasa mampu mengerjakan apa yang ingin dia kerjakan. Tidak ada kebebasan yang absolut. Menurut Rogers, pengaruh  keturunan, kekuatan sosial dan pengalaman masa lalu berpengaruh terhadap pilihan organisme.
e.    Kreativitas (creativity), meruapakan kemasakan psikologik yang optimal. Orang dengan good life berkemungkinan besar untuk memunculkan produk kreatif. Orang  yang kreatif cenderung untuk hidup konstruktif dan adabtif dalam kulturnya (memuaskan lingkungan) sekaligus memuaskan kebutuhannya yang terdalam.

D.   Perkembangan Psikopatologi
Menurut Rogers, orang maladjustmen sepertinya tidak sadar dengan perasaan yang mereka ekspresikan. Mereka juga tidak sadar dengan pernyataan yang bertentangan dengan self-nya dan berusaha menolak ekspresi yang dapat mengungkap hal itu.
Hubungan akrab dipandang sebagai ancaman dan keterlibatan dengan orang lain dihindari. Sebaliknya, orang sehat menyadari pengalaman dan ekspresi perasaanya, bertanggung jawab dengan perasaan yang dimiliki dan berani bergaul akrab dengan segala resikonya.

1.     Tak Saling Suai (incongruence)
Seseorang yang secara psikologik sehat secara berkala tetap dihadapkan pada pengalaman yang mengancam konsep dirinyayang memaksa untuk mendistorsi atau mengingkari pengalamannya. Jadi siapapun mempunyai pertahanan untuk menangani kecemasan ringan dan cara bertingkah laku untuk mengurangi kecemasan itu.  Ketika pengalaman sangat tidak konsisten dengan dengan struktur self, tingkat kecemasan yang terjadi dapat merusak rutunitas dan orang menjadi neurotik. Orang ini sebagian pertanahnnya masih efektif dalam menjaga pengalaman mengancam agar tidak masuk ke kesadaran. Struktur self masih tetap utuh walaupun lemah.
Semakin besar jurang ketidak sesuaian antara konsep diri dengan pengalaman organismik, semakin orang menjadi rentan. Jika tingkat inkongruennya sangat tinggi, pertahanan mungkin tidak dapat dioperasikan. Pengalaman disimbolisasikan ke dalam kesadaran sehingga konsep diri menjadi hancur.  Kondisi dimana self tidak mampu mempertahankan diri dari pengalaman yang mengancam ini akan menimbulkan disorganisasi kepribadian dan psikopatologi yang membuat orang menjadi psikotik.
2.    Kecemasan dan Ancaman
Rogers mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan ketidaknyamanan atau ketegangan yang sebabnya tidak diketahui.  Ketika orang semakin menyadari ketidakknruenan antara pengalaman dan persepsi dirinya, kecemasan berubah menjadi ancaman yang dapat menggeser konsep diri konruen ke sikap diri tak konruen. Kecemasan dan ancaman yang menjadi indikasi adanya ketidakkongruenan diri dengan pengalaman membuat orang berada dalam perasaan tegang yang tidak menyenangkan, namun pada tingkat tertentu, kecemasan  dan ancaman itu dibutuhkan untuk mengembangkan diri memperoleh jiwa yang sehat.
3.    Tingkah Laku Bertahan (defensiveness)
Tingkah laku bertahan ini dipakai untuk mengangani inkongruen dapat efektif atau tidak efektif.  Menurut Rogers, hanya ada dua jenis tingkah laku bertahan, yaitu:
a.    Distorsi : pengalaman diinterpretasi secara salahdalam rangka menyesuaikannya dengan aspek yang ada di dalam konsep self. Orang mempersepsi pengalaman secara sadar tetapi gagal menagkap/tidak menginterpretasi makna pengalaman seperti yang sebenarnya. Distorsi ini dapat menimbulkan bermacam difense dan tingkah laku salah suai.
b.    Orang menolak menyadari suatu pengalaman atau menghalangi beberapa bagian dari pengalaman untuk disimbolisasi. Pengingkaran itu dilakukan terhadap pengalaman yang tidak kongruen dengan konsep diri, sehingga orang terbebas dari ancaman ketidakkogruena diri.
4.    Disorganisasi
Disorganisasi kepribadian ini dapat terjadi secara mendadak atau berangsur-angsur. Namun sumbernya tetap sama yaitu difense yang tidak dapat dioperasikan dan struktur self yang pecah. Jadi tingkah laku disorganisasi adalah adalah akibat dari ketidakkongruenan antara self dan pengalaman. Besarnya perbedaan antara self dan pengalaman  yang menentukan menentukan parahnya salahsuai psikologik. Disorganisasi ini dapat disembuhkan dengan terapi yang memberinya penerimaan tanpa syarat.

E.    Dinamika Kepribadian
1.     Penerimaan Positive (positive regard)
Bayi mengembangkan konsep self dengan membedakan dan kemudian menginternalisasi pengalaman eksternal yang memuaskan aktualisasi dirinya bawaannya.  Pengalaman dinilai apakah dapat memberi kepuasan atau tidak, mula-mula secara fisik namun kemudian berkembang menjadi kepuasan emosional dan sosial.  Konsep self mencakup gambaran siapa dirinya, siapa seharusnya dirinya dan siapa kemungkinan dirinya. Kesadaran memiliki konsep diri kemudian mengembangkan penerimaan positif: kebutuhan diri agar diterima baik, dicintai dan diakui lingkungannya. Penerimaan positif dari ibu akan memuaskan bayi, namun apabila ibu tidak dapat memberikan penerimaaan positif kepada bayinya, maka bayi menjadi frustasi dan manarik diri. Sebaliknya, mendidik anak dengan pendekatan penerimaan positif bersyarat  adalah mengembangkan superego yang berarti memaksa anak mengembangkan menginternalisasi norma orangtuanya, dimana hanya kalau anak dapat menyesuaikan dirinya dengan norma itu dia akan merasa berharga. Anak terpaksa menghambat perkjembangan berbagai potensinya (yang tidaksesuai dengan norma orang tuanya), mereka menjadi tidak bebas  dan terhambat dalam mengembangkan aktualisasi dirinya.
2.    Konsistensi dan Salingsuai Self
Perhatian Rogers yang utama adalah bagaimana organisme dan self dapat dibuat lebih kongruen atau sebidang. Artinya ada saat dimana self berada pada keadaan inkongruen,  kongruensi self ditentukan oleh kematangan, penyesuaian, dan kesehatan mental, self yang kongruen adalah yang mampu untuk menyamakan antara interpretasi dan persepsi self I dan self me sesuai dengan  realitas dan interpretasi self yang lain. Semakin lebar jarak antara keduanya, semakin lebar ketidaksebidangan ini.  Semakin besar ketidaksebidangan, maka semakin besar pula penderitaan yang dirasakan Jika tidak mampu maka akan terjadi inkongruensi atau maladjustment atau neurosis.
3.    Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Rogers memandang organisme terus menerus bergerak maju. Tujuan tingkah laku bukan untuk mereduksi tingkah laku tegangan energi namun untuk mencapai aktuialisasi diri. Organisme memiliki satu kekuatan  motivasi, dorongan aktialisasi diri dan satu tujuan hidup  menjadi aktualisasi diri. Ada banyak kebutuhan namun semuanya tunduk melayani  kecenderungan dasar organisme untuk aktualisasi, yakni kebutuhan  pemeliharaan (maintenance), dan peningkatan diri (enhancement).  Dua kebutuhan lainnya yang juga memiliki arti penting adalah penerimaan positif dari orang lain dan  penerimaan positif dari diri sendiri.  Keduanya dipelajari pada masa bayi, yaitu ketika bayi dirawat, dicintai dan menerima regard postif dari orang lain.
a.    Pemeliharaan (maintenance) : kebutuhan yang timbul dalam rangka memuaskan kebutuhan dasar seperti makanan, udara, air dan keamanan. Pemeliharaan ini bersifat konservatif dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan konsep  diri yang dirasa nyaman.  Orang melawan ide baru, mengaburkjan pengalaman yang tidak sesuai dengan self karena takut akan perubahan dan perkembangan yang akan menimbulkan bahaya yang menyakitkan.
b.    Peningkatan diri (enhancement ) ; meskipun ada keinginan untuk mempertahankan keadaan tetap seperti apa adanya, orang tetap ingin belajar dan berubah.  Kebutuhan untuk menjadi lebih, berkambang  dan mencapai tujuan dinamakan kebutuhan peningkatan diri. Kebutuhan ini diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti: rasa ingin tahu, kegembiraan, eksplorasi diri,  kemasakan dan persahabatan.
c.    Penerimaan positif dari orang lain (positive regard of others) : ketika kesadaran self muncul, bayi mengembangkan kebutuhan untuk dicintai  atau diterima oleh orang lain di sekitarnya. Sebagai contoh, seorang anak yang takut dengan anjing besar diperintah ayahnya , “tunjukkan kepada saya seberapa berani kamu, ayo maju dan sentuh anjing itu”. Anak kemungkinan akan mengesampingkan rasa takutnya dalam rangka memperoleh pujian anaknya (penerimaan positif).
d.    Penerimaan positif dari diri sendiri (self regard)
Bersamaan dengan berkembangnya penerimaan positif dari orang lain, anak juga mengembangkan penerimaan positif dari diri sendiri.  Penerimaan diri ini merupakan akibat dari pengalaman kepuasan/frustasi dari kebutuhan penerimaan positif dari orang lain. Dari contoh diatas, ketika anak menerima pujian dari ayahnya,  untuk tingkah lakunya yang berani, kalau anak itu dapat melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya, dia akan mengembangkan penerimaan diri negatif. Sebaliknya, kalau anak menerima dirinya sendiri secara positif.  Menurut Rogers, penerimaan diri positif mencakup perasaan kepercayaan diri dan keberhargaan diri.


TEORI MORAL – KOHLBERG DAN PIAGET
Pengertian Moral
            Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara , kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangkan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Terdapat dua pandangan dalam perkembangan moral menurut Piaget dan Lawrence Kohlberg. Piaget berpendapat ada hubungan antara tahap-tahap perkembangan kognitif dan kemampuan bernalar tentang masalah-masalah moral. Kohlberg percaya bahwa perkembangan struktur logis yang diusulkan Piaget perlu, walaupun tidak mencukupi bagi kemajuan dalam bidang penilaian dan penalaran moral.
Teori Piaget tentang Perkembangan Moral
            Piaget percaya bahwa struktur dan kemampuan kognitif berkembang lebih dulu. Kemampuan kognitif kemudian menentukan kemampuan anak-anak bernalar tentang situasi social. Sebagaimana dengan kemampuan kognitif, Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, dalam hal ini dari tipe penalaran moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan kerja sama dan ketimbalbalikan. Tahap-tahap perkembangan moral Piaget disajikan pada table berikut ini .
Usia Anak
Tahap Perkembangan Moral
Ciri Khas
4 s/d 7 tahun
Realisme Moral
(dalam tahap perkembangan kognitif pra-operasional)

1.      Memusatkan pada akibat-  akibat perbuatan
2.      Aturan-aturan dipandang tak berubah.
3.      Hukuman atas pelanggaran dipandang bersifat otomatis
          
7 s/d 10 tahun
Masa Transisi
(dalam tahap perkembangan kognitif konkrit-operasional)

Perubahan secara bertahap ke arah pemilikan moral tahap kedua
11 tahun ke atas
Otonomi, realisme dan resiprositas moral
(dalam tahap perkembangan kognitif formal-operasional)

1.      Mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku moral.
2.    Menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi yang dapat berubah.
   
Piaget (1964) menamai tahap pertama perkembangan moral sebagai moralitas heteronom, hal itu juga disebut tahap “realism moral” atau “moralitas paksaan.” Heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh orang lain. Selama periode ini, anak-anak yang masih muda terus-menerus dihadapkan dengan orang tua dan orang-orang dewasa yang memberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini membawa hukuman otomatis. Keadilan dilihat sebagai sesuatu yang otomatis, dan orang-orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga menggambarkan anak-anak pada tahap ini menilai moralitas perilaku berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka menilai perilaku sebagai sesuatu yang jahat kalau hal itu menghasilkan konsekuensi negative sekalipun maksud semula pelakunya adalah baik.
            Tahap kedua dinamakan moralitas otonomi atau “moralitas kerja sama.” Moralitas tersebut muncul ketika dunia social anak itu berkembang hingga meliputi makin banyak teman. Dengan terus-menerus berinteraksi dan bekerja sama dengan anak-anak lain, gagasan anak tersebut tentang aturan dan karena itu juga moralitas mulai berubah. Kini aturan adalah apa yang kita buat sebagai aturan. Hukuman atas pelanggaran tidak lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan pertimbangan maksud pelanggar dan lingkungan yang meringankan.
            Menurut Piaget, anak-anak mengalami kemajuan dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas otonomi dengan perkembangan struktur kognitif tetapi juga karena interaksi dengan teman-teman yang mempunyai status yang sama. Dia percaya bahwa menyelesaikan konflik dengan teman-teman memperlemah sikap anak-anak mengandalkan otoritas orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka bahwa aturan dapat diubah dan seharusnya ada hanya sebagai hasil persetujuan bersama.

Tahap-tahap Penalaran Moral menurut Kohlberg
            Teori tahap Kohlberg (1963, 1969) tentang penalaran moral adalah penjabaran dan perbaikan terhadap teori Piaget. Sama seperti Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana anak-anak dan orang dewasa bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi tertentu. Kohlberg tidak mempelajari permainan anak-anak, tetapi lebih menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi yang terstruktur atau dilema moral.
            Kohlberg berpendapat bahwa orang melewati rangkaian enam tahap penilaian atau penalaran moral. Tingkat dan tahap-tahap penalaran moral Kohlberg disajikan pada table berikut.
           



Tingkat
Tahap

Konsep Moral
I
Moralitas prakonvensional
(usia 4-10 tahun)
Tahap 1
Memperhatikan ketaatan dan hukum


Tahap 2
Memperhatikan pemuasan kebutuhan
1.      Anak menentukan keburukan berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut.
2.      Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran diri dari hukum.
  
Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
II
Moralitas konvensional
(usia 10-13 tahun)
Tahap 3
Memperhatikan citra “anak baik”





Tahap 4
Memperhatikan hukum dan peraturan

1.      Anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
2.      Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.

1.      Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan peraturan.
2.      Hukum harus ditaati oleh semua orang.    
III
Moralitas Pasca Konvensional
(usia 13 tahun ke atas)

Tahap 5
Memperhatikan hak perseorangan





Tahap 6
Memperhatikan prinsip-prinsip etika
1.      Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
2.      Perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.      Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu
      

1.      Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
2.       Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.

Contoh : seorang suami yang istrinya sedang sakit keras dan ia tidak punya uang, boleh jadi akan mencuri obat atau mencuri uang untuk membeli obat tersebut untuk menyelamatkan nyawa istrinya itu. Ia yakin bahwa di satu sisi tindakan mencuri merupakan keharusan, sedang di sisi lain melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri (kasusHeinz).

            Kohlberg mengelompokkan keenam tahap tersebut menjadi tiga tingkat, yaitu : prakonvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Ketiga tingkat ini dibedakan oleh bagaimana anak atau orang dewasa mendefinisikan apa yang dia pahami sebagai sesuatu yang benar atau perilaku moral.
            Tahap 1, yang berada pada tingkat prakonvensional moralitas, mempunyai bentuk dan isi yag sangat mirip dengan tahap moralitas heteronom Piaget. Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. Tahap 2, Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme), perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Jadi hubungan disini bukan atas dasar loyalitas, trimakasih dan keadilan.
            Tingkat konvensional moralitas mulai pada tahap 3, pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. Selanjutnya tahap 4, Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
            Tahap 5 menandakan pintu masuk ke tingkat pasca-konvensional moralitas. Disini terdapat kesadaran bahwa hukum dan nilai suatu masyarakat agak berubah-ubah dan merupakan sesuatu yang khas bagi masyarakat itu. Hukum dipandang perlu untuk mempertahankan tatanan sosial dan untuk memastikan hak dasar kehidupan dan kebebasan. Tahap 6, pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
            Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.
Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan moral, maka motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut :
1.      Motif 1 : Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
2.      Motif 2 : Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, rasa nikmat. Atau rasa sakit dari akibat hukuman.
3.      Motif 3 : Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
4.      Motif 4 : Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
5.      Motif 5 : erbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri. Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten dan tanpa tujuan.
6.      Motif 6 : Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dengan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prnsip-prinsip moral.

 DAFTAR PUSTAKA

Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
http://blog.uin-malang.ac.id/auliya28/2012/04/12/perkembangan-moral-peserta-didik/
http://hidayaheducation.blogspot.com/2011/12/teori-perkembangan-moral-piaget.html http://sylvie.edublogs.org/2006/09/19/teori-perkembangan-moral/





Tidak ada komentar:

Posting Komentar