BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepribadian
(Personality) merupakan salah satu
kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau temuan-temuan
(hasil praktik penanganan kasus) para ahli. Objek kajian kepribadian adalah “human behavior”, perilaku manusia yang pembahasannya
terkait dengan apa, mengapa dan bagaimana.
Perkembangan
pemikiran dan kajian empirik di kalangan para ahli tentang kepribadian manusia
telah melahirkan berbagai teori yang beragam sesuai dengan perspektif pemikiran
dan pengalaman pribadi para ahli yang membangun teori tersebut. Berikut ini
akan disajikan teori kepribadian psikoseksual Sigmund Freud dan psikososial
Erik Ericson.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana teori Psikoseksual memandang
perkembangan pribadi sosial individu?
2.
Bagaimana teori Psikososial memandang
Perkembangan pribadi sosial individu?
C.
Tujuan
1.
Untuk memahami perkembangan pribadi sosial
berdasarkan teori Psikoseksual
2.
Untuk memahami perkembangan pribadi sosial
berdasarkan teori Psikososial
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN PRIBADI SOSIAL BERDASARKAN
TEORI PSIKOSEKSUAL
1.
Sejarah Perkembangan
Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah satu teori yang paling terkenal, akan
tetapi juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya
kepribadian yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak di
mana mencari kesenangan-energi dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual
tertentu. Energi psikoseksual, atau libido, digambarkan sebagai kekuatan
pendorong di belakang perilaku. Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian
besar dibentuk pada usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku
di kemudian hari.
Sigmund Freud
lahir di Freiberg, kota kecil di sebuah Negara yang bernama Cekoslawakia. Ia
adalah putra sulung dari istri kedua ayahnya yang melahirkan lima anak
perempuan dan dua anak laki-laki. Kedua orang tua Sigmund Freud adalah pemeluk
Yahudi, dan Sigmund Freud sendiri ialah pemeluk Yahudi. Selama bertahun-tahun
Sigmund Freud menderita depresi dan keletihan atau apati periodic,
gejala-gejala neurotik yang kelak berbentuk serangan-serangan kecemasan dan
seringkali mengganggu sebelum disingkirkan oleh analisisnya.
Berbekal
penghargaan travelling fellowship
Freud pergi ke Paris, belajar di salpatriere
(rumah sakit untuk penyakit syaraf yang dipimpin oleh Charcot). Freud terkesan
dengan investigasi Charcot mengenai hysteria, yang menginformasi kebenaran
informasi histerik, termasuk kelumpuhan histerik dan bangunan sugesti hipnotik.
Tahun 1886, Freud kembali ke Wina dan menikah dengan Martha Bernays, membuka
praktik pribadi sebagai spesalis penyakit syaraf. Ketika Freud menyadari
keterbatasan sugesti hipnotik maka dengan segera ia meninggalkan elektroterapi.
Pada awal tahun
1880 ia menjalin persahabatan yang akrab dengan Joseph Breuer. Joseph bercerita
bagaimana ia menangani anak perempuan yang memiliki gejala histeria dengan
menghipnotis dan mengeksperesikan diri serta menekannya ke dalam situasi emosi.
Selama periode 1887-1990 Freud menjalin pertemanan dengan Wilhem Fleiss,
seorang spesialis hidung dan tenggorokan. Fleiss melihat masalah seksual
menjadi sebagai hal yang sentral dan mendorong serta memberikan ijin Freud
untuk mengembangkan teorinya.
Dengan dasar latar
belakang di atas, Freud mulai mengembangkan idenya mengenai dasar seksual
neurosis. Freud menemukan nafsu kanak-kanaknya terhadap ibunya, dan kecemburuan
terhadap ayahnya yang dianggap sebagai karakteristik suka menentang pada diri
manusia (Richard Nelson Jones 2011:32).
2.
Hakikat Manusia
Freud memandang
manusia secara deterministik atau makhluk yang dapat mengendalikan dirinya. Hal
ini mengartikan bahwa manusia sangat ditentukan atau disetir oleh tekanan
irasional, motivasi tidak disadari, dorongan biologis, dorongan naluri serta
kejadian lima atau enam tahun pertama dalam kehidupan (Gerald Corey 2009:15). Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses,
hasilnya adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak
diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus
yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan,
individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang
terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat
mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
3.
Struktur Kepribadian
Freud membagi
struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, yaitu id, ego dan super ego.
Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara tiga komponen tersebut.
a.
Id (Das Es), Aspek Biologis Kepribadian
Id merupakan
komponen kepribadian yang primitif, instinktif (yang berusaha untuk memenuhi
kepuasan instink) dan rahim tempat ego dan super ego berkembang. Id
berorientasi pada prinsip kesenangan (Pleasure
principle) atau prinsip reduksi ketegangan. Id merupakan sumber energi
psikis, ini dikarenakan id merupakan sumber dari isntink kehidupan (eros) dan
instink kematian atau instink agresif yang menggerakkan tigkah laku. Prinsip
kesenangan merujuk pada pencapaian kepuasan segera dari dorongan biologis
tersebut. Id merupakan proses primer yang bersifat primitif, tidak logis, tidak
rasional dan orientasinya bersifat fantasi (maya).
Dalam mereduksi
ketegangan atau menghilangkan kondisi yang tidak menyenangkan dan untuk
memperoleh kesenangan, id menempuh dua cara (proses), yaitu melalui refleks dan
proses primer (the primary of process). Refleks
merupakan reaksi-reaksi mekanis atau otomatis yang bersifat bawaan (bukan hasil
belajar) seperti besin dan berkedip. Melalui refleks (ketegangan atau perasaan
tak nyaman) dapat direduksi dengan segera. Proses primer merupakan
reaksi-reaksi psikologis yang lebih rumit. Proses primer berusaha mengurangi
ketegangan dengan cara membentuk khayalan (berfantasi) tentang objek atau
aktivitas yang akan menghilangkan ketegangan tersebut. Misalnya: pada saat
lapar mengahayalkan makanan, pada saat dendan menghayalkan kegiatan membalas
dendam. Kehadiran objek yang diinginkan dalam bentuk khayalan sebagai
pengalaman halusinasi dinamakan sebagai “wishfullfillment”.
Contoh proses primer yang terbaik dalam proses kehidupan sehari-hari adalah mimpi.
b.
Ego (Das Ich), Aspek Psikologis
Kepribadian
Merupakan
eksekutif atau manajer dari kepribadian yang membuat keputusan (Decison maker) tentang instink-instink
mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya, atau sebagai sistem kepribadian
yang terorganisir, rasional dan berorientasi pada prinsip realitas (reality
principle). Peran utama ego adalah sebagai mediator (perantara) yang
menjembatani antara id (keinginan yang kuat untuk mencapai kepuasan) dengan
kondisi lingkungan atau kondisi luar (external social world) yang diharapkan.
Ego dibimbing oleh prinsip realitas (reality principle) yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan objek yang cocok untuk pemuasan
kebutuhan atau dorongan id.
Freud
mengibaratkan ego seperti joki penunggang kuda yang harus memahami kekuatan
kuda. Dalam rangka menghindar dari masalah, ego harus berusaha untuk
menjinakkan dorongan id yang tidak terkendali. Seperti halnya id, ego pun
mempunyai keinginan untuk memaksimalkan pencapaian kepuasan. Namun dalam
prosesnya ego mendasarkan pada secondary process thingking. Proses sekunder
adalah berfikir realistik yang bersifat rasional, realistik dan berorientasi
pada pemecahan masalah, termasuk fungsi persepsi, belajar, memori dan yang
sepertinya. Melalui proses sekunder ini pula ego merumuskan suatu rencana untuk
memuaskan kebutuhan atau dorongan, kemudian menguji rencana itu. Orang yang
lapar merencanakan untuk mencari makan, dan mengujinya di tempat mana makanan
itu berada.
c.
Super ego (Das Uber Ich) Aspek Sosiologia
Kepribadian
Super ego
merupakan komponen moral kepribadian yang terkait dengan standar atau norma
masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Super ego berkembang pada
usia sekitar 3 atau 5 tahun. Pada usia ini anak belajar untuk memperoleh hadiah
(rewards) dan menghindari hukuman (punishment) dengan cara mengarahkan tingkah
lakunya yang sesuai dengan ketentuan atau keinginan orang tuanya.
4.
Perkembangan Kepribadian
Perkembangan
kepribadian dalam tahapan perkembangan psikoseksual, saat energi seksual
berubah-ubah seiring kematangan anak. Setiap tahap menghasilkan sejumlah
perasaan frustasi, konflik, dan kecemasan. Jika hal ini tidak dapat
diselesaikan secara baik, perkembangan normal dapat terganggu dan anak dapat
terus terfiksasi atau tertahan pada
tahapan tertentu. Sebagai contoh, menurut Freud ada orang yang terfiksasi pada
tahap oral yang terjadi pada tahun pertama kehidupan manusia, saat bayi
menghayati dunianya melalui mulu. Sebagai orang dewasa, mereka akan mencari
kepuasan oral dengan merokok, makan berlebihan, menggigit kuku atau menggigit
ujung pensil, lainnya menjadi sangat lekat terhadap orang lain dan tidak
mandiri.
Namun bagi Freud,
tahapan yang paling penting dalam pembentukan kepribadian adalah tahap phallic (oedipal) yang berlangsung dari
usia 3-5 (6) tahun. Selama tahap ini Freud beranggapan bahwa anak memiliki
keinginan yang tidak ia sadari untuk memiliki orang tua yang jenis kelaminnya
berbeda dan menyingkirkan orang tua yang jenis kelaminnya sama dengan dirinya. Anak
seringkali dengan nagga berkata”aku akan menikah dengan ayah/ibu jik besar
nanti. Fenomena ini disebut oedipus
complex, dari legenda Yunani yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan
menikahi ibunya.
Berikut ini adalah
model atau tahapan perkembangan kepribadian menurut Freud:
Tahapan
|
Usia
|
Pusat Erotis
|
Pengalaman
|
Oral
|
0-1
|
Mulut
|
Penyapihan dari
menyusu
|
Anal
|
1-3
|
Anus
|
Toilet training
|
Phallik
|
3-5
|
Penis
|
Identifikasi
kepada model peranan orang dewasa, dan mengatasi krisi oedipal
|
Latensi
|
6-12
|
Tidak ada
|
Memperluas
kontak sosial
|
Genital
|
12 ≥
|
Genital
|
Membangun
hubungan yang lebih intim (akrab), dan memberikan kontribusi pada masyarakat
melalui bekerja
|
a.
Tahap Oral (oris=mulut)
Adalah periode
bayi yang masih menetek, seluruh hidupnya masih bergantung pada orang lain
(ibu). Pada masa ini libido didistribusikan ke daerah oral sehingga perbuatan
mengisap dan menelan menjadi metode utama untuk mereduksi ketegangan dan
mencapai kepuasan (kenikmatan). Mulut menjadi sumber kenikmatan erotis, maka
anak akan menikmati peristiwa menetek pada ibunya dan memasukkan segala jenis
benda kedalam mulutnya termasuk jempolnya sendiri.
Ketidakpuasan pada
masa oral seperti disapih dan kelahiran adiknya dapat menimbulkan gejala
regresi atau kemunduran, yaitu berbuat seperti bayi atau anak yang sangat
bergantung pada orang tuanya ataupun perasaan iri hati (cemburu). Reaksi dari
kedua gejala tersebut dapat dinyatakan dari beberapa tingkah laku, seperti: mengisap
jempol, mengompol, membandel, dan membisu. Dampak dari ketidakpuasan terhadap
perkembangan kepribadian anak adalah merasa kurang aman, selalu bergantung pada
orang lain, selalu meminta perhatian atau egosentris.
Sama halnya dengan
anak yang tidak mendapatkan kepuasan, anak yang mendapatkan kepuasan secara
berlebihan memiliki dampak terhadap kepribadiannya. Dampaknya adalah dia akan
menampilkan pribadi yang kurang mandiri (kurang bertanggung jawab), rakus, dan
haus perhatian. Menurut Freud fiksasi pada tahap ini akan membentuk sikap
obsesif, yaitu makan dan merokok pada kehidupan berikutnya (masa remaja dan
dewasa). Pada tahapan ini dorongan agresif sudah mulai berkembang.
b.
Tahap Anal
Berada pada usia 2
sampai 3 tahun. Pada tahap ini libido terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan
mengalami ketegangan ketika akan buang air besar, namun disinilah letak
kepuasan dan kesenangan atau kenikmatan. Peristiwa ini disebut sebagai erotik
anal. Pada tahapan ini anak dituntut untuk memulai penyesuaian diri dengan
tuntutan orang tua (lingkungan), seperti hidup bersih, tidak mengompol, tidak
buang air kecil sembarangan.
Toilet
training adalah usaha sosialisasi nilai-nilai sosial pertama
yang sistematis sebagai upaya untuk mengontrol dorongan-dorongan biologis anak
yang diperkenalkan oleh orang tua. Ada beberapa kemungkiknan cara orang tua
memberikan latihan kebersihan atau toilet training ini, yaitu: sikap keras,
selalu memuji dan pengertian. Ketiga cara tersebut akan memberikan dampak
tersendiri bagi perkembangan anak. Beriku ini adalah tabel cara pelatihan orang
tua dan dampaknya terhadap perkembangan anak.
Cara Pelatihan
|
Dampak
|
Sikap
keras (sering menghukum)
|
·
Bersikap berlebihan dalam ketertiban atau kebersihan
·
Bersikap kikir
·
Stereotif kurang kreatif
·
Bersikap kejam/keras/sukap memusuhi
·
Penakut
·
Bersikap kaku
|
Selalu memuji
|
·
Selalu ingin dipuji
·
Manja atau kurang mandiri
|
Sikap pengertian
|
·
Mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri
·
Egonya berkembang dengan wajar
|
c.
Tahap Phallik
Berlangsung pada
usia 3 sampai 5 tahun. Pada tahap ini anak mulai memperhatikan atau senang
memainkan alat kelaminnya sendiri, dengan kata lain anak sudah mulai bermasturbasi,
mengusap-usap atau memijit-nijit organi seksualnya sendiri yang menghasilkan
kepuasan atau rasa kesenangan. Pada masa ini terjadi perkembangan pada aspek
psikologis, terutama yang terkait dengan iklim kehidupan sosiopsikologis
keluarga tau perlakuan orang tua kepada anak.
Pada tahapan ini,
anak masih bersikap “selfish”, sikap memperhatikan orang lain. Perkembangan
gejala-gejala psikologis pada tahap phalik disajikan pada tabel berikut ini.
Gejala
|
Pengertian
|
Keterangan
|
Anak wanita Iri
hati Dzakar (penis envy)
|
Sikap cemburu
terhadap kelamin laki-laki, hal ini dikarenakan yang dimilikinya berbeda
dengan laki-laki. Dengan kata lain terjadi kecemburuan karena tidak memiliki
penis seperti laki-laki. Dia merasa tidak senang atau mencela anatominya
sendiri, karena dipandang “dificiency” (ada kekurangan
|
Apabila ibu
bersikap ramah atau penuh kasih sayang, maka gejala ini akan mudah
terselesaikan. Namun jika sebaliknya, maka anak akan sulit memainkan perannya
sebagai wanita, dan dia akan memprotes kewanitaanya.
|
Masculine
Protest
|
Protes terhadap kondisinya sebagau
wanita, sehinga lebih senang berperan sebagai laki-laki, bersikap keras dan
senang memainkan permainan laki-laki
|
Kondisi ini terjadi apabila lingkungan
(orang tua) bersikap merendahkan anak wanita. Mungkin juga terjadi karena ibu
sebagai figur wanita ketika diidentifikasi penampilannya kurang feminim
|
Electra Complex
|
Sikap anak
wanita yang mencintai, menyayangi atau simpati kepada ayahnya. Gejala ini
terkait dengan fakta bahwa anak wanita tidak memiliki penis
|
Kondisi ini
terjadi karena ibunya bersikap keras, sementara sikap ayah menyayangi (akrab)
|
Anak laki-laki
Oedipus Complex
|
Perasaan cinta (kemenarika seksual) kepada
ibu, dan sikap memusuhi ayah (karena dipandang sebagai pesaingnya). Oedipus
Complex ini melahirkan sikap ambivalensi pada anak (konflik internal), yaitu
sikap mendua antara membenci ayah dengan keinginanya mengidentifikasi dirinya
kepada ayah sebagai tokoh yang mempunyai otoritas di rumah tangga
|
Gejala ini
terjadi karena:
·
Ibu sejak kecil mengurus dengan penuh kasih sayang
·
Ayah jarang di rumah
·
Ayah terlalu keras atau kurang memberikan kasih
sayang.
Gejala oedipus
ini (sikap memusuhi ayah) akan menyebabkan anak merasa bersalah kepada
ayahnya, maka untuk mengatasinya anak mengidentifikasi dirinya kepada
ayahnya. Kemampuan mengatasi konflik ini merupakan perkembangan psikoseksual
yang sehat. Freud menduga tanpa identifikasi, maka anak kan mengalami
hambatan dalam perkembangannya, terutama dalam mengembangkan superego
|
Castration
Anxiety
|
Kecemasan atau
ketakutan anak akan perbuatan ayahnya memotong (menyunat) penisnya, gara-gara
dia memusuhi ayahnya. Gejala ini muncul sebagai dampak Oedipus Complex
|
Untuk
mengatasinya anak mengidentifikasi dirinya kepada ayahnya
|
Agar perkembangan
anak pada tahap ini dapat berjalan dengan baik, tidak mengalami hambatan atau
kemandegan maka seyogyanya orang tua memperhatikan hal-hal berikut.
1.
Orang tua memelihara keharmonisan keluarga
2.
Ibu memainkan perannya sebagai seorang
yang feminim, bersikap ramah, gembira, dan memberikan kasih sayang
3.
Ayah mampu memerankan dirinya sebagai
figur yang menerapkan prinsip realitas dalam menghadapi segala masalah hidup,
tanpa melarikan diri dari masalah atau bertindah berlebihan
4.
Ayah dan ibu memiliki komitmen yang tinggi
dalam mengamalkan nilai-nilai agama yang dianutnya
5.
Ayah bersikap demokratis, penih perhatian,
akrab dengan anak dan tidak munafik
d.
Tahap Latensi
Berkisar antara
usia 6 sampai 12 tahun (masa sekolah dasar). Tahap ini merupakan masa tenang
seksual, karena segala sesuatu yang terkait dengan seks dihambat atau dirempres
(ditekan). Masa ini adalah periode bertahannya dorongan-dorongan seks dan
agresif. Selama masa ini, anak mengembangkan kemampuanya bersublimasi (seperti
mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain olah raga, dan kegiatan lainnya dan
mulai menaruh perhatian untuk berteman atau bergaul. Mereka belum mempunyai
perhatian khusu pada lawan jenis (bersikap netral) sehingga dalam bermain pun
anak laki-laki akan bermain dengan sejenisnya begitu pula wanita.
Tahap ini
dipandang sebagai masa perluasan kontak sosial dengan orang-orang di luar
keluarganya. Oleh karena itu proses identifikasi pun mengalami perluasan atau
pengalihan objek. Sebagai contoh semula objek identifikasi anak adalah orang
tua namun sekarang meluas pada guru, tokoh sejarah atau para bintang.
e.
Tahap Genital
Dimulai sekitar
usia 12 sampai 13 tahun. Pada masa ini anak sudah mulai memasuki usia remaja.
Masa ini ditandai dengan matangnya organ reproduksi anak. Pada tahapan ini,
instink seksual dan sikap agresif menjadi lebih aktif. Anak mulai mengembangkan
motif untk mencintai orang lain atau mulai berkembangnya motif altruis
(berkeinginan untuk memperhatikan kepentingan orang lain). Motif-motif ini
mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dan persiapan
untuk memasuki dunia kerja, pernikahan dan berkeluarga.
Masa ini ditandai
dengan pengalihan perhatian dari mencari kepuasan atau kenikmatan sendiri (yang
bersifat kekanak-kanakan atau selfish) kepada kehidupan sosial orang
dewasa dan berorientasi kenyataan
(prinsip realitas) atau sikap altruis. Keterkaitan antara karakter orang dewasa
dengan perkembangan psikoseksual dapat digambarkan sebagai berikut:
Tahapan
|
Perpanjangan ke masa dewasa
|
Sublimasi
|
Formasi reaksi
|
Oral
|
Merokok, makan,
minum, ciuman, memelihara kesehatan mulut, dan mengunyah
|
Mencari ilmu,
senang humor dan sarkasme
|
Sangat hati-hati
dalam berbicara, pengikut mode, tidak senang susu, dan senang memberikan
larangan
|
Anal
|
Penampilan yang
tidak karuan, senag berlama-lama pada saat buang air besar
|
Senang melukis, memahat, memberi hadiah,
berminat terhadap statistik
|
Sangat muak dengan buang air besar,
takut akan kotoran, lekas marah, sangat sopan dan santun
|
Phallik
|
Senang
bermasturbasi, genit, dan senang mengekspresikan kejantanan
|
Senang berpuisi,
bercinta, minat terhadap akting, semangat mencapai kesuksesan
|
Mempunyai sikap
yang teguh terhadap seks, dan rendah hati
|
B. PERKEMBANGAN PRIBADI SOSIAL BERDASARKAN
PSIKOSOSIAL
1.
Sejarah perkembangan
Teori perkembangan kepribadian
yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh
kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi
penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan
manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah
ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan
fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai
salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan.
Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan
memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang
mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran
kehidupan, dan yang ketiga adalah menggambarkan secara eksplisit
mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar
belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian
didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang
baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran
yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh
manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak
digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan
tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya
secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini
mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya
sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis
pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi
antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan
sosial.
Tampak dengan jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya
dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan
psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori
psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai
perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang
merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan
setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun
sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap
perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap
yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat
dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi,
dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga
merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki
lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk
mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang
ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood
and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan
delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang
biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson
berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari
dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang
berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan.
Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran
kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan
karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan
hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya
fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.
Selanjutnya, Erikson berpendapat
bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap
komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah
yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital
dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan
antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah
sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap
tahap.
Erikson percaya “epigenetic
principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas
dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap
manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar
tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya
dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga.
Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai
adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara
berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai
kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan
sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas
bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari
Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson
mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan
sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory
of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak
berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud
maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini
berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain
perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori
Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson
melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis
rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap
bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian
bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu,
melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa
dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan
malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak
berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif
dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu
berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang
terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak
menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung
dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam
tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan
maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Erik Erikson,
lahir di kota Frankfurt Jerman 15 Juni 1902. Ayah biologisnya adalah seseorang
yang tidak dikenal bernama Danish. Dia meninggalkan ibunya sebelum Erik lahir.
Ibunya bernama Karla Abrahasemen, seorang wanita yahudi yang membesarkan erik
seorang diri selama 3 tahun pertama sebelum dinikahi oleh Dr. Theodor Homberge.
Pada waktu kecil
dan awal remajanya dia bernama Erik Homberger. Setelah lulus SMA, Erik ingin
menjadi seorang seniman. Erik hidup menjadi seorang yang pemberontak sebelum
menjadi seorang yang “the thing to do”. Pada saat usia 25 tahun, Peter Blos
seorang seniman yang kemudian menjadi psikoanalisis menyarankan erik untuk
menjadi seorang guru di sekolah untuk murid amerika yang dipimpin oleh Dorothy
Burlingham, teman Anna Freud.
Saat mengajar Erik
bertemu dengan guru dansa yang bernama Joan Seson, kemudian menikah dan
mempunyai tiga orang anak. Saat menjadi warga negara amerika, erik secara resmi
mengganti namanya menjadi erik erikson. Sama seperti Piaget, Erikson tidak
mempunyai pendidikan formal dalam psikologi tetapi sebagai anak muda dia dilatih
oleh Freud sebagai seorang Psikoanalisis. Erikson mempunyai hipotesis bahwa
orang melewati delapan tahap psikososial sepanjang hidup mereka. Pada
masing-masing tahap terdapat krisis atau masalah-masalah penting yang harus
diatasi. Erik meninggal pada tahun 1994.
2.
Ciri khas psikologi Erikson
a.
Erikson menekankan kesadaran individu
untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego
adalah kematangan ego yang sehat, alih-alih kkonflik salah suai yang neurotik
b.
Erikson berusaha mengembangkan teori
instink dari freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepribadian
c.
Erikson secara eksplisit mengemukakan
bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang tak sadar, namun motif itu bisa
membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran sosial di masa
lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar
kepercayaan bebas dari id membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari
sistem kerja id.
d.
Erikson menganggap ego sebagai sumber
kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan realitas, ego
mengembangkan perasaan berkelanjutan diri dengan masa lalu dari masa yang akan
datang.
3.
Tahapan perkembangan Psikososial
Tahap (usia)
|
Krisis psikososial
|
Hubungan
Penting
|
Modalitas psikososial
|
Virtue Psikososial
|
1. (0-1) bayi
|
Trust vs
mistrust
|
Ibu
|
Mengambil,
mengembalikan
|
Harapan,
kepercayaan
|
2. (2-3) awal anak
|
Autonomy vs
shame, adoubt
|
Orang tua
|
Mempertahankan,
merelakan
|
Keinginan,
penentuan
|
3. (3-6) pra
sekolah
|
Initiative vs
guilt
|
Keluarga dasar
|
Bermain
|
Kegunaaan,
keberanian
|
4. (7-12 ≥) anak
usia sekolah
|
Industry vs
isolation
|
Tetangga dan
sekolah
|
Melengkapi, membuat sesuatu bersama
|
Kompetensi
|
5. (12-18 ≥) remaja
|
Ego identity vs
role confusion
|
Teman sebaya,
role models
|
Menjadi diri
sendiri
|
Ketaatan,
kesetiaan
|
6. (20) dewasa awal
|
Inticimacy vs
isolation
|
Partner, teman
|
Kehilangan dan menemukan diri dalam
orang lain
|
Cinta
|
7. (20-50) dewasa
madya
|
Generativity vs
self absorption
|
Rumah tangga,
teman kerja
|
Ingin sesuatu
terjadi, menjaga
|
Kepedulian
|
8. (50) Dewasa
akhir
|
Integrity vs
despair
|
Umat manusia
|
To be, through having, to face not being
|
Kebijaksanaan
|
a.
Tahap pertama
Masa bayi (infancy)
ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh
dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia
sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak
akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku
oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada
orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara
asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi
situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral,
kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur
dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini
ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut
bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari
adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta
juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat
memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan
nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih
mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran
sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah
penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai
pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan
memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini.
Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal
terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan
yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah
kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis,
maupun depresi.
Pada dasarnya setiap
manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa
ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan
tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya
untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu
mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya
dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada
perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan
yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi
pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan
berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat
kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi
mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam
setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling
berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap
ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya
dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut
terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan
tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan
menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut.
Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang
dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi
suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi
secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan
adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah
yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
b.
Tahap kedua
Masa kanak-kanak awal
(early childhood) usia 18 bulan-3 tahun ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt.
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri,
dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa
ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa
malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau
persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua
adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa
balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas
yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus
dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu
relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik,
maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua
dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam
mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu
misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa
mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson
bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan
nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman
baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat
menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima
control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan
orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak
dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua
terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga
anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak
perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan
kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara
sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka
mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya
rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat
mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat
diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif
yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam
kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang
dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang
menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
c.
Tahap ketiga
Masa pra sekolah (Preschool Age) usia
3-6tahun ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak
telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia
terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut
masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai
tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki
sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki
sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan
tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang
menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan
sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat
yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga
dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya
dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan
(purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa
dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu
interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri
untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam
pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak
berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk
menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk
bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan
kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
d.
Tahap keempat
Masa Sekolah (School Age) usia 6-12 tahun
ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari
perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa
saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap
lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri.
Tahap keempat ini
dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara
umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam
tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya
pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi
semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat
mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru
sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia
seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila
anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut
Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki
rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan
kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan
“masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika
seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha
yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif
yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku
yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang
standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat
kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal.
Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya
sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan
relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal
dengan istilah formalism.
e.
Tahap kelima
Tahap kelima merupakan tahap adolesen
(remaja), yang dimulai pada saat masa puber 12 tahun dan berakhir pada usia 18
atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity
– Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk
dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat
ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya
sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang
kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang
besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan
pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang
diberikan kepada masing-masing anggota.
Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap
identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat
ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai
positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan
identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna
tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah
masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
f.
Tahap keenam
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah
dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa
dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin
mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara
keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai
yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini
yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang
baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
g.
Tahap ketujuh
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada
posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai
60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga
tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia
mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan
tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan
salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan
antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas
akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat
jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan
sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap
siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan
sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri
sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang
tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari
semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat
sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini
yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
h.
Tahap kedelapan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson
disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60
atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau
intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai
pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan
yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya
menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit
dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa
terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap
tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat
diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam
teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima
hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri.
Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat
integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan
terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat
menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai,
sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua.
Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang
diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Corey,
G. 2009. Theory and Practice of Counseling
and Psychotherapy- 8th
Edition.
Belmont: Brook/Cole USA
Slavin, Robert E. 2008.
Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik.
Jakarta: PT Indeks
Yusuf, Syamsu dan
Nurihsan, Juantika. 2011. Teori
Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Psychologymania. http://www.psychologymania.com/2011/09/teori-perkembangan-psikoseksual.html
(diakses tanggal 18 Februari 2013)
Hariyanto.2010. http://belajarpsikologi.com/tahap-perkembangan-psikososial-menurut-sigmund-freud/
(diakses tanggal 18 februari 2013)
(Y)
BalasHapus